News

Banyak Hal Disampaikan Indonesia di G20 Summit, Termasuk Dampak Pandemi Covid-19

JAKARTA, difanews.com — Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan terdapat enam agenda prioritas dari Finance Track G20 yang akan diteruskan Indonesia di G20 Summit di Roma, Italia, 30-31 Oktober.

Pertama, pembahasan mengenai exit strategy untuk mendukung pemulihan ekonomi.

Exit strategy yaitu bagaimana pemulihan ekonomi akan men-drive negara-negara yang melakukan kebijakan extraordinary, baik di fiskal dan moneternya, secara bertahap mulai melakukan exit strategy tanpa membuat pemulihan ekonominya terganggu,” ujar Menkeu dalam keterangan persnya, Minggu (31/10).

Kedua, upaya mengatasi dampak pandemi Covid-19 untuk mengamankan pertumbuhan di masa depan.

“Upaya penanganan dampak pandemi atau yang kita sebut di dalam technical term-nya di dalam G20 atau istilah teknisnya adalah scaring effect, dampak luka yang dalam akibat pademi terhadap perekonomian. Ini yang akan menjadi bahan pembahasan di dalam finance track,” kata Menkeu.

Ketiga, sistem pembayaran di era digital dan yang keempat adalah keuangan berkelanjutan atau sustainable financing.

“Adanya Covid banyak negara yang mengalami set back, dalam hal ini kemiskinannya meningkat lagi dan juga unemployment, dan bagaimana mengembalikan track pertumbuhan namun yang sustainable,” ujar Menkeu.

Agenda prioritas kelima adalah inklusi keuangan dan yang keenam mengenai perpajakan internasional.

Di dalam Presidensi Italia, sudah disepakati mengenai dua pilar untuk perpajakan internasional.

“Bagaimana prinsip-prinsip membagi profit dan kemudian memunculkan perpajakan global, termasuk minimum taxation untuk menghormati hak-hak pendapatan perpajakan dari semua negara sehingga tidak terjadi apa yang disebut base erosion profit shifting atau menggerus basis pajak suatu negara karena negara-negara bisa bergerak antarnegara untuk terjadi pengurangan perpajakan,” kata Menkeu.

Selain enam agenda prioritas di atas, Indonesia juga akan fokus kepada beberapa isu yang merupakan isu legacy atau warisan dari Presidensi G20 Italia.

Pertama, mengintegrasikan risiko pandemi dan risiko iklim dalam risiko global. Kedua, penguatan global financial safety net.

“Ini juga berkaitan juga dengan IMF yang dalam hal ini melakukan penggunaan SDR (Special Drawing Rights) 650 untuk direalokasikan bagi membantu negara-negara miskin,” ujar Menkeu.

Ketiga, peningkatan arus modal antar negara. Keempat, melanjutkan Inisiatif Kesenjangan Data (Data Gap Initiatives). Kelima, reformasi regulasi sektor keuangan. Keenam, pengelolaan dan transparansi utang terkait dengan debt service suspension initiatives, terutama bagi negara-negara miskin.

Ketujuh, agenda pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan dan inklusif. Kedelapan, dukungan bagi Bank Pembangunan Multilateral (Multilateral Development Bank). Kesembilan, perkuatan kapasitas sistem kesehatan untuk pencegahan dan kesiapan respon pandemi.

Dan yang terakhir, bagaimana upaya menarik investasi swasta.

“Itulah tema-tema yang akan dibahas dan biasanya menjadi tema utama yang akan diangkat pada Pertemuan G20 tingkat kepala negara.”

“Karena memang dari sisi finance dan central bank, ini yang menyangkut kesehatan keuangan dunia dan terutama menyangkut masalah-masalah yang memiliki implikasi kebijakan global dan keuangan global,” tandas Menkeu.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati juga menyampaikan bahwa perubahan iklim merupakan isu penting yang perlu dibahas di dalam G20 Summit mengenai bagaimana semua negara bisa menyelenggarakan komitmen sesuai dengan Paris Agreement.

“Ini yang akan menjadi fokus pembahasan yang sangat penting, baik di G20 Summit sekarang ini, yang nanti akan menjadi issue pada Presidensi Indonesia di antara para menteri keuangan,” kata Menkeu lagi.

Menurut Menkeu, transisi Indonesia dan negara-negara lain untuk menuju kepada low carbon harus affordable, adil, dan available.

“Jadi ini aspek financing dari delivery climate change komitmen menjadi sangat penting karena semua negara pada akhirnya bisa saja commit, tapi kalau mereka tidak bisa membayar atau tidak affordable, maka dia tidak bisa mendeliver komitmen untuk penurunan CO2,” ujar Menkeu.

Di sisi lain, Menkeu juga menyampaikan mengenai ancaman pemulihan ekonomi dunia selain akses vaksin yang tidak merata, yaitu terjadinya inflasi kenaikan energi dan disruption dari supply.

“Ini terjadi di negara-negara yang pemulihannya sangat cepat, namun kemudian muncul komplikasi dalam bentuk kenaikan harga energi dan supply disruption,” kata Menkeu.

Menkeu menjelaskan, supply side-nya tidak mengikuti ketika permintaan pulih dengan cepat dan kuat. Berbagai disruption terjadi di pelabuhan sehingga barang-barang tidak bisa diangkut atau supply disruption berdasarkan bahan baku yang tidak bisa dikirim sehingga barangnya tidak bisa dibuat di dalam manufaktur.

“Kenaikan energi yang begitu sangat cepat juga terjadi karena investasi di bidang energi, terutama yang nonrenewable itu sudah merosot tajam dihadapkan pada permintaan terhadap energi yang melonjak akibat pemulihan ekonomi dan sekarang mendekati masuk winter,” ujar Menkeu.

Hal tersebut mendorong inflasi yang tinggi di berbagai negara sehingga menjadi ancaman pemulihan ekonomi global.

“Indonesia perlu juga tetap waspada terhadap kemungkinan terjadinya rembesan hal tersebut,” kata Menkeu.

Selain topik di atas, fokus di dalam pembahasan G20 yang kemudian dikaitkan dengan inklusi keuangan adalah mengenai aspek ekonomi digital atau financial teknologi.

“Karena Indonesia, sesuai dengan temanya tadi, Recover Together, Recover Stronger. Itu berarti pemulihan harus merata di antara semua negara dan di dalam satu negara juga untuk masyarakat, terutama kelompok usaha kecil menengah juga harus pulih dan itu peranan dari teknologi digital menjadi penting,” ujar Menkeu.

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button