
BOGOR, DIFANEWS.com — Indonesia berduka Presiden ke-3 Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie meninggal dunia di Jakarta pada usia 83 tahun pada Rabu (11/9) di RSPAD.
Bacharuddin Jusuf Habibie lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936. Ia anak keempat dari delapan bersaudara. Orang tuanya adalah pasangan Bugis-Jawa Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo.
Kedua orang tua Habibie berasal dari keluarga terhormat dan terpelajar. Kakek Habibie adalah ulama Islam terkenal. Ayah Habibie adalah lulusan sekolah pertanian di Bogor. Pada tahun 1948, Alwi Habibie menjabat sebagai Kepala Departemen Pertanian Negara Indonesia Timur. Sementara ibunya datang dari keluarga dokter.
Pada 3 September 1950 ayah Habibie meninggal dunia ketika sedang mengimami salat Isya.
Sejak kecil Habibie menyukai mesin, Menurut Titi Habibie, jika ditanya “kalau besar mau jadi apa?” ia selalu menjawab, “Insinyur”. Pendidikan menengahnya ditempuh di HBS (Horgere Burger School). Di tengah jalan, tahun 1950, ia pindah ke Bandung dan sekolah di Gouvernements Middelbare School sampai 1951. Lalu lanjut ke Sekolah Menengah Atas Katolik dari 1951 sampai 1954.
Selepas SMA tahun 1954, ia masuk Departmen Elektro, Fakultas Teknik Universitas Indonesia (sekarang Institut Teknologi Bandung). Dengan biaya dari ibunya, pada tahun 1955 ia melanjutkan kuliah di jurusan Konstruksi Pesawat Terbang di Rheinisch Westfahlische Technische Hochschule (RWTH), Achen, Jerman barat.
Ia menyelesaikan S-1 hingga S-3 selama 10 tahun. Pada 1965, ia meraih gelar doktor ingenieur (doktor teknik) dengan predikat summa cum laude.
Kelak menjelang kepulangannya ke Indonesia, seorang pemimpin perusahaan MBB menyatakan pengakuannya atas genialitas Habibie. Ia berkata bahwa untuk mendapatkan satu orang lagi seperti Habibie. Indonesia membutuhkan waktu seratus tahun.
Setelah menyelesaikan pendidikan doktor teknik tahun 1965, Habibie mendapat dua tawaran. Pertama, menjadi pengajar di RWTH, kedua bekerja di perusahaan pesawat Boeing. Setelah mempertimbangkan dengan istrinya, ia menolak keduanya.
“Dari kepentingan pribadi mungkin tawaran ini harus diterima namun dipandang dari kepentingan pembangunan bangsa, sebaiknya tawaran ini kami tolak dan berusaha bekerja di industry dirgantara untuk mendapatkan informasi dan pengalaman berkarya mengembangkan dan membuat pesawat terbang yang memang dibutuhkan untuk mempertahankan dan membangun Benua Maritim Indonesia,” tulis Habibie.
Habibie kemudain mendaftar di perusahaan pembuat pesawat Hamburger Flugzeug Bau (HFB) yang tengah mengembangkan pesawat Fokker F28 dan Hansajet 320. Setelah HFB berganti nama menjadi Messerschmitt Boelkow Blohm (MBB), ia diangkat sebagai Direktur Pengembangan dan Penerapan Teknologi pada 1973. Jabatan tersebut adalah yang tertinggi di MBB yang pernaj dijabat oleh orang asing.