‘Siap Gemes’ di Kamboja 2023, Kecurangan Olahraga yang Tak Pernah Lekang Sepanjang Sejarah
Catatan Yukie H. Rushdie, kolumnis olahraga
JAKARTA, difanews.com – Rasanya, diskursus soal ‘lonceng kecurangan’ di gelanggang olahraga multievent mulai menjenuhkan juga.
Pertama, itu bukan temuan anyar. Di semua tingkat, dari skala lokal, nasional, regional, hingga global, dari zaman olahraga masih sangat tradisional hingga seprofesional sekarang, indikasi kecurangan tuan rumah seolah sudah menjadi sebuah keniscayaan, ibarat bumbu penyedap wajib yang tak boleh tidak ada.
Kedua, itu biasanya cuma jadi teriakan di gurun pasir. Hingga detik ini, tak pernah terjadi di mana tuan rumah pesta olahraga multievent, sekalipun dihujat sekencang apapun, termasuk disebut sebagai penyelenggara terburuk sepanjang masa, menerima sanksi dari badan-badan internasional.
Dan, ketiga, semua diskursus soal ‘lonceng kecurangan’ (tuan rumah) tersebut bakal segera berakhir bersamaan dengan upacara penutupan yang biasanya dihelat secara bersahabat dan hangat, di mana semua atlet tak lagi berbaris berdasarkan negaranya masing-masing seperti pada acara pembukaan, melainkan per cabang olahraga yang diikutinya.
Memang, ujung-ujungnya, isu kecurangan tuan rumah itu takkan lagi dianggap sebagai masalah negara, melainkan berakhir pada posisi menjadi ‘pengalaman terpahit’ individu si atletnya sendiri.
Salah satu peristiwa paling fenomenal yang pernah terjadi di ajang olahraga multievent adalah ‘perampokan’ medali emas petinju Amerika Serikat (AS), Roy Jones Jr, di Olimpiade Seoul 1988, setelah di final kelas menengah ringan dinyatakan kalah angka dari jagoan tuan rumah, Park Si-hun, kendati keunggulannya di atas ring sangatlah nyata dan bisa disaksikan secara kasat mata.
Pengalaman sangat pahit tersebut sempat membuat Jones Jr, yang kala itu masih berusia 19 tahun, menyatakan bakal berhenti bermain tinju. Namun, untunglah, berkat sang ayah, Roy Jones Sr, akhirnya petarung cerdik itu kembali mengenakan sarung tinjunya, terjun ke profesional, dan berakhir sebagai salah satu legenda berkat lima sabuk juaranya di empat kelas berbeda.
Lantas, bagaimana dengan Park Si hun sendiri?
Tatkala wasit mengangkat tangannya selaku pemenang dengan angka 3-2 berdasarkan penilaian lima juri, ekspresi Park Si-hun sendiri sontak terkesan malu, dan segera memeluk Roy Jones Jr yang tampak kebingungan. Namun, semua berhenti di situ saja, tak membuat Park Si hun kemudian ‘menyerahkan’ medali emasnya di Olimpiade 1988 kepada Roy Jones Jr. Bahkan, karier tertinggi bertinjunya pun berakhir di situ, tak berlanjut menjadi legenda di atas ring profesional dunia sebagaimana Roy Jones Jr.
Tak lama setelah pertandingan yang disebut-sebut sangat kotor itu, tiga juri yang memberikan kemenangan kepada Park Si hun dijatuhi sanksi skorsing selama enam bulan. Namun, kemudian, Asosiasi Tinju Internasional (AIBA) membebaskan mereka.
Beberapa tahun kemudian, muncul bukti bahwa otoritas tinju Korea Selatan telah menyuap para juri hingga jajaran eksekutif AIBA. Namun, terlepas dari semua bukti itu, IOC mengakhiri penyelidikannya pada tahun 1997 dengan memutuskan bahwa ‘tidak ada bukti korupsi dalam laga tinju di Seoul’. Maka, Roy Jones Jr pun tetap saja tak pernah menerima medali emas Olimpiade 1988.
Fasilitas bagi tuan rumah untuk tidak tampil memalukan di ajang olahraga multievent sebenarnya sudah diberikan lewat kebijakan izin memasukkan beberapa cabang tradisional mereka, yang sudah dipastikan sangat dikuasainya dan bakal menjadi ladang medali baginya.
Namun, sepertinya, kebijakan itu belum dianggap cukup untuk memenuhi ambisi tuan rumah, yang umumnya berbunyi ‘Sukses Penyelenggaraan, Sukses Prestasi’. Terutama dari sisi prestasi, kesuksesan itu biasanya baru dirasa sempurna bila mereka mampu merebut medali di cabang-cabang olahraga umum yang sudah mengglobal, bukan lewat cabang-cabang olahraga tradisional miliknya.
Alhasil, berbagai cara disiapkan, aneka strategi pun diapungkan, demi mencetak hasil mengejutkan. Tidaklah mengherankan bila raihan medali tuan rumah pesta olahraga multievent umumnya melesat jauh, bahkan kerap nyaris tak masuk akal, bila dibandingkan dengan torehan mereka saat hadir sebagai tamu.
Catatan ini sekadar mengingatkan diri sendiri, sekaligus mengendalikan kejengkelan demi kejengkelan, yang terlahir akibat menonton atraksi-atraksi kocak bin ajaib di ajang SEA Games XXXII Kamboja 2023.
Kendati jauh sebelum perhelatan itu tergelar saya sudah membentengi diri dengan mental ‘siap gemes di Kamboja 2023’, tak ayal barikade moral tersebut tetap saja agak terguncang juga tatkala menyaksikan atlet-atlet tamu ‘dikerjai’ di sana.
Kini, solusinya tinggal menanti terbitnya momen bersahabat di upacara penutupan, yang biasanya terkucur bak air dingin di era kemarau.
Apalagi, ya apalagi, Timnas U22 Indonesia asuhan Indra Sjafri sudah tampil mengesankan, patriotis, sekaligus (sedikit) mengobati luka pecinta sepakbola tanah air atas pembatalan ketuanrumahan Indonesia untuk ajang Piala Dunia U-20…***
* Yukie H. Rushdie, kolumnis olahraga