Labubu dan Fenomena Treatonomics, Kemewahan Kecil Pereda Pilu Gen Z di Tengah Krisis Ekonomi
"Dari mainan edisi terbatas, tiket konser, hingga merchandise unik seperti Labubu, semua menjadi bagian dari budaya baru ini," tulis AInvest dalam laporannya pada Minggu, 10 Agustus 2025.

JAKARTA, Difanews.com – Di tengah tekanan inflasi dan situasi ekonomi yang tidak menentu, sebagian orang mencari cara sederhana untuk menghibur diri.
Fenomena ini dikenal sebagai lipstick effect, di mana masyarakat cenderung membeli “kemewahan kecil” di saat ekonomi sulit.
Kini, konsep itu berkembang menjadi tren baru bernama “treatonomics” yang dianggap menjadi perpaduan antara nostalgia dan gaya hidup digital generasi muda terkhusus Generasi Z atau Gen Z.
Treatonomics mengubah cara orang memandang nilai. Bukan lagi sekadar fungsi atau kebutuhan, melainkan pengalaman dan makna emosional yang melekat pada suatu barang.
“Dari mainan edisi terbatas, tiket konser, hingga merchandise unik seperti Labubu, semua menjadi bagian dari budaya baru ini,” tulis AInvest dalam laporannya pada Minggu, 10 Agustus 2025.
Konsep lipstick effect pertama kali diamati pada masa Depresi Besar di AS, ketika masyarakat tetap membeli kosmetik walau kondisi ekonomi sulit.
Sekarang, “kemewahan kecil” itu meluas menjadi pengalaman dan koleksi.
Gen Z disebut memegang peranan besar dalam membentuk pasar. Hampir semua dari mereka memiliki smartphone, dan seperempat waktu luang mereka dihabiskan untuk bermain gim.
“Orang bisa berhemat untuk belanja kebutuhan rumah tangga, tapi rela mengeluarkan jutaan rupiah untuk set LEGO langka, tiket konser Taylor Swift, atau boneka Labubu edisi khusus,” nilai AInvest.
“Pada 2025, Gen Z menyumbang 34% pengguna baru platform lelang digital dan 54 persen pembeli koleksi untuk pertama kalinya,” imbuhnya.
Terkait hal itu, pola belanja generasi muda ini dipengaruhi tiga hal utama, yakni nostalgia dengan sentuhan modern, pengaruh media sosial, dan pandangan bahwa koleksi adalah aset investasi.
Strategi kelangkaan dan fear of missing out (FOMO) juga membuat orang terdorong membeli berulang kali. Ditambah kekuatan media sosial, tren yang awalnya kecil bisa meledak menjadi fenomena global tanpa perlu iklan besar-besaran.
Hingga hari ini, para pelaku industri yang mampu memahami perpaduan antara nilai emosional dan daya tarik digital punya peluang besar. Dan bagi konsumen, sebagian menilai ihwal membeli Labubu atau bebek karet bukan berarti boros, melainkan cara menjaga kewarasan di tengah ekonomi yang penuh tekanan.***