Krisis Pasokan Bijih Nikel di Indonesia, Dampak Penutupan Tambang Mandiodo
JAKARTA, difanews.com – Pemerintah berkomitmen untuk mendorong perkembangan program hilirisasi di sektor nikel, karena Indonesia memiliki cadangan nikel yang signifikan.
Namun demikian, di tengah melimpahnya cadangan nikel tersebut, rupanya terdapat perusahaan smelter yang beroperasi di Indonesia justru kekurangan pasokan dan akhirnya melakukan kegiatan impor dari Filipina.
Merespon hal itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan perusahaan smelter tersebut melakukan pembelian bijih nikel dari luar negeri. Salah satunya lantaran operasional Blok Mandiodo milik Antam di Sulawesi Tenggara dihentikan akibat kasus korupsi.
Arifin membeberkan selama ini perusahaan-perusahaan yang melakukan kegiatan impor nikel tersebut mendapat pasokan bijih nikel dari Blok Mandiodo. Sementara, ketika operasional tambang tersebut dihentikan, maka sangat berpengaruh terhadap pasokan ke smelter.
Di sisi lain, tambang nikel lain yang masih melakukan kegiatan produksi juga sudah terikat dengan perusahaan smelter lainnya. Sehingga, ia pun mempersilahkan bagi perusahaan tersebut melakukan impor untuk sementara waktu.
“Tambang lain kan terikat, mereka kan juga gak mau ekstra produksi. Jadi memang untuk menutup gap yang sementara ini mereka impor. Ya silahkan. Tapi kedepannya ya kita akan carikan supaya bisa,” kata Arifin usai Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI dikutip dari CNBC, Kamis (31/8/2023).
Sebagaimana diketahui, Kejaksaan Agung (Kejagung) RI beberapa waktu lalu, Rabu (09/08/2023) menetapkan dua tersangka baru dalam kasus dugaan Tipikor pertambangan Blok Mandiodo ini.
Kedua tersangka tersebut yaitu mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin dan HJ sebagai Sub Koordinator Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) Kementerian ESDM.
Dengan ditetapkannya Ridwan dan HJ sebagai tersangka, maka Tim Penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara telah menetapkan 10 orang tersangka. Seluruh tersangka tersebut berasal dari PT Aneka Tambang Tbk, PT Lawu Agung Mining, PT Kabaena Kromit Pratama dan beberapa pejabat dari Kementerian ESDM.