LaNyalla Mattalitti: Calon Presiden Indonesia Harus Bermoral, Bukan Hasil Framing Lembaga Survei dan Fabrikasi Media Mainstream
SURABAYA, difanews.com — Calon pemimpin bangsa Indonesia wajib memiliki sejumlah syarat penting agar ke depan rakyat bangsa ini dapat menikmati kehidupan sejahtera lahir dan batin.
Persyaratan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada Pemilu 2024 memang terus disorot Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. Menurut LaNyalla, persyaratan seharusnya tak hanya seperti tertuang dalam Pasal 169 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
“Yang paling penting sebagai persyaratan utama, Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus memiliki moralitas, intelektualitas dan integritas mumpuni dengan parameter dan track record jelas,” kata LaNyalla di sela kegiatan reses di Jawa Timur, Selasa (25/7/).
Dalam konteks moralitas, Senator asal Jawa Timur itu menilai seorang pemimpin harus memiliki etika moral yang bersih, peduli rakyat, tidak punya jejak memperkaya diri dari sumber yang sumir, dan tidak bersentuhan dengan praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
“Ini penting. Karena negara ini berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga moralitas dalam arti luas, termasuk perspektif relijiusitas itu menjadi bagian penting, selain integritas dan intelektualitas, terutama untuk hikmat terhadap tujuan dan cita-cita bangsa dan negara ini,” tegas LaNyalla.
Soal intelektualitas, LaNyalla menilai tak sekadar visi-misi dan program kerja yang jadi tolok ukur. Seorang pemimpin harus punya kepintaran, kecakapan dan konsep komprehensif tentang Indonesia. Salah satunya, kata dia, tahu arah dan tujuan berbangsa dan bernegara ini sebagaimana cita-cita luhur para pendiri bangsa.
“Bukan tanpa tujuan bangsa dan negara ini didirikan. Semua termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Itu yang harus menjadi parameter dan pedoman kita dalam menentukan pemimpin bangsa ke depan,” tutur LaNyalla.
Karena itu, sistem bernegara Indonesia pasca reformasi terus mendapat perhatian serius dari anggota DPD asal Jawa Timur ini. LaNyalla coba terus menawarkan gagasan untuk kembali kepada sistem bernegara sesuai rumusan pendiri bangsa.
“Kita sudah punya sistem terbaik, yang sayangnya belum pernah diterapkan secara benar di era Orde Lama dan Orde Baru. Tetapi bukannya kita perkuat dan sempurnakan, tetapi malah kita adopsi sistem baru, yang liberal,” beber LaNyalla.
“Akibatnya sekarang kita saksikan, negara ini seperti milik orang-orang itu saja. Padahal seharusnya kerakyatan dipimpin oleh hikmat. Tetapi faktanya jadi kerakyatan yang dipimpin oleh orang itu-itu saja.”
Dikatakan, sistem penjaringan presiden yang dikanalisasi ke pintu partai politik, dengan ambang batas (presidential threshold) yang memaksa tarik ulur koalisi partai, membuat rakyat dipaksa memilih sosok yang belum tentu dikehendaki rakyat yang non-partisan.
“Apalagi dengan Pilpres langsung, batu ujinya adalah popularitas yang bisa difabrikasi melalui media. Belum lagi elektabilitas yang diframing melalui lembaga survei. Lalu diresonansi buzzer di medsos. Ini kan engineering saja, sama dengan memoles bedak saja,” urainya.
Saatnya kita berpikir lebih jernih, untuk perbaikan Indonesia ke depan. Kita bangun kesadaran kolektif, ajaknya.
“Agar bangsa ini kembali menempatkan kedaulatan rakyat di tempat yang benar dan terukur, sesuai dengan karakteristik bangsa dan pikiran luhur founding fathers,” tandasnya.***