Utang Jerman Meningkat Tajam Akibat Pandemi dan Konflik Rusia-Ukraina
Christian Lindner, berkomitmen untuk mengatasi utang yang mencapai 66%-67% dari PDB, melampaui nilai referensi Uni Eropa, hutang pemerintah Jerman pada akhir 2022 mencapai 2,4 triliun euro.
Jerman, difanews.com – Utang yang harus ditanggung oleh Jerman meroket secara signifikan. Kenaikan drastis ini terjadi setelah negara tersebut terpukul oleh wabah Covid-19 dan juga akibat dari konflik antara Rusia dan Ukraina.
Mengutip Al Mayadeen, Rabu (23/8/2023), Menteri Keuangan Jerman Christian Lindner berjanji untuk menangani utang publik negara setelah naik menjadi 66%-67% dari PDB. Ini melampaui nilai referensi utang terhadap PDB di Uni Eropa (UE) sebesar 60%.
“Beban utang kita mencapai 66%-67% dari PDB. Itu mencapai 59% sebelum pandemi. Tapi saya berjanji bahwa tujuan saya adalah membawa kita kembali ke level sebelum krisis 59%-60% saat saya masih menjabat,” katanya, seperti dikutip di CNN.
Pada akhir 2022, utang Pemerintah Jerman menembus angka 2,4 triliun euro. Peningkatan tersebut sebagian besar disebabkan oleh biaya pandemi dan krisis energi.
Kantor Statistik Federal (Destatis) mengatakan pada Maret lalu bahwa utang anggaran publik ke sektor non-publik meningkat sebesar 46,1 miliar euro, yang merupakan peningkatan 2% dibandingkan 2021.
Menurut perkiraan Lindner dari Februari, pemerintah federal sekarang menghabiskan 40 miliar euro per tahun untuk pembayaran utang. Ini naik dari 4 miliar euro pada 2021.
Sanksi yang seharusnya menjadi pukulan mematikan bagi ekonomi Rusia telah berubah menjadi mimpi buruk bagi Jerman, ekonomi terbesar di Eropa. Pekan lalu, Kementerian Ekonomi mengatakan kepada Reuters bahwa pemulihan ekonomi Jerman yang berkelanjutan tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat.
“Di dalam negeri, pemulihan hati-hati yang diharapkan dalam konsumsi swasta, jasa dan investasi menunjukkan tanda-tanda harapan pertama, yang kemungkinan akan menguat seiring berjalannya tahun,” kata kementerian dalam laporan bulanannya.
“Pada saat yang sama, permintaan eksternal yang masih lemah, ketidakpastian geopolitik yang terus berlanjut, tingkat kenaikan harga yang masih tinggi dan efek pengetatan moneter yang semakin nyata menghambat pemulihan ekonomi yang lebih kuat.