Aroma Sampah di DLH Kota Tangerang Selatan Ternyata Wangi

DIFANEWS.COM – Tak ada yang menyangka, sampah—yang setiap hari kita buang tanpa pikir panjang—ternyata bisa bernilai puluhan miliar rupiah.
Lebih mengejutkan lagi, proyek pengelolaan sampah yang seharusnya menjadi solusi atas krisis lingkungan justru menjadi sarang korupsi.
Itulah yang kini dibongkar Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten dalam kasus dugaan korupsi pengangkutan dan pengelolaan sampah di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangerang Selatan. Sampah di sana ternyata beraroma wangi.
Kasus ini menyeret tiga nama penting: Kepala DLH Tangsel, Wahyunoto Lukman; Kabid Kebersihan, Tb Apriliadhi Kusumah Perbangsa; dan Direktur Utama PT EPP, SYM.
Ketiganya diduga bersekongkol dalam skema manipulasi tender proyek senilai Rp75 miliar—proyek yang seharusnya menjadi wujud tanggung jawab pemerintah daerah dalam menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan kota.
Dalam proses pengadaan proyek pengelolaan dan pengangkutan sampah, Wahyunoto dan SYM diduga aktif mengatur agar PT EPP dapat memenangkan tender.
Modusnya terletak pada manipulasi administratif: mereka mengurus perubahan pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI)milik PT EPP, dari yang semula hanya untuk pengangkutan menjadi memenuhi kriteria pengelolaan sampah.
Dengan cara ini, PT EPP dianggap sah secara administratif meski secara teknis tidak memiliki kelayakan.
Padahal, pengelolaan sampah bukan sekadar mengangkut dan menumpuk di TPA.
Ia mencakup proses pemilahan, pengolahan, hingga pengurangan dampak lingkungan.
Tapi PT EPP tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk semua itu. Dengan kata lain, mereka hanya tampil layak di atas kertas.
Setelah PT EPP memenangkan tender, proyek mulai dijalankan.
Tercatat anggaran sebesar Rp 50,7 miliar digunakan untuk jasa pengangkutan, sementara Rp 25,2 miliar dialokasikan untuk pengelolaan.
Namun kenyataannya, sebagian besar kegiatan pengelolaan sampah tak pernah terealisasi sesuai kontrak.
Dalam kondisi itu, seharusnya pemerintah tidak memproses pencairan dana sepenuhnya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Tb Apriliadhi tetap mengesahkan pembayaran hingga 100 persen.
Ia menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) tanpa landasan teknis yang jelas, tak melakukan klarifikasi teknis terhadap dokumen PT EPP, bahkan menyetujui kontrak tanpa menyertakan rincian lokasi dan mekanisme kerja.
Ini bukan hanya keteledoran administratif, melainkan indikasi kuat adanya praktik penyimpangan yang disengaja.
Atas semua perbuatannya, ketiga tersangka kini dijerat Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Pasal ini mengatur soal perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Meskipun Kejati Banten belum mengumumkan secara pasti jumlah kerugian negara, indikasi kerugian cukup besar.
Jika seluruh dana sebesar Rp 75 miliar telah cair, maka kerugian negara bisa mencapai angka tersebut—tergantung hasil audit dan pembuktian di pengadilan.
Kasus ini tentunya menjadi simbol pengkhianatan atas kepercayaan publik.
Dalam bayang-bayang krisis iklim dan darurat sampah, publik menaruh harapan pada pemerintah daerah agar lebih serius dalam urusan lingkungan.
Namun alih-alih bekerja untuk kebersihan kota, oknum pejabat justru memanfaatkan program lingkungan untuk memperkaya diri.
Korupsi semacam ini bahkan lebih berbahaya karena berdampak langsung terhadap kualitas hidup masyarakat.
Pengelolaan sampah yang amburadul akan menciptakan tumpukan sampah di lingkungan warga, meningkatkan risiko penyakit, dan memperburuk kualitas udara serta air tanah.
Kasus ini menegaskan kembali pentingnya transparansi dalam pengadaan barang dan jasa, khususnya di sektor yang berdampak langsung pada kehidupan warga.
Mekanisme tender perlu diawasi lebih ketat, dan perusahaan peserta tender harus diverifikasi tidak hanya dari sisi administratif, tapi juga teknis dan kapasitas riilnya.
Selain itu, perlu adanya mekanisme pengawasan masyarakat dan media yang lebih kuat.
Jika proses ini terus-menerus dilakukan secara tertutup dan tanpa partisipasi publik, maka peluang manipulasi akan selalu terbuka.
Ironis rasanya, saat masyarakat diminta peduli pada lingkungan dan giat memilah sampah, di sisi lain justru ada pejabat yang mempermainkan anggaran kebersihan demi keuntungan pribadi.
Semoga kasus ini menjadi pintu masuk bagi penataan ulang sektor lingkungan—agar tak lagi jadi ladang korupsi yang dibungkus niat mulia. (sumber: rembang24jam.com)