Jadi Klaster Terbesar Covid-19, Kemenkes Diminta Hentikan Pencitraan
Kasus terbanyak ternyata ditemukan di Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Per 18 September, ditemukan 252 kasus, sementara 50 kasus tambahan ditemukan di Badan Penelitian dan Pengembangan sehingga totalnya menjadi 302.
JAKARTA, DIFANEWS.com — Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merilis kasus penularan Covid-19 di perkantoran, termasuk swasta dan kementerian/lembaga negara.
Kasus terbanyak ternyata ditemukan di Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Per 18 September, ditemukan 252 kasus, sementara 50 kasus tambahan ditemukan di Badan Penelitian dan Pengembangan sehingga totalnya menjadi 302.
Tirto menghubungi Sekjen Kemenkes Oscar Primadi, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Achmad Yurianto, dan Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes Widyawati untuk mengonfirmasi temuan pemprov sejak 17 September hingga 18 September.
Semuanya tidak menanggapi pesan singkat dan telepon. Satu-satunya yang merespons adalah Kepala Bidang Media dan Opini Publik Kemenkes Busroni, namun juga tak ada jawaban.
“Saya masih di lapangan, saya belum tahu [data Dinkes DKI],” ujarnya, Jumat (18/9/2020).
Sementara Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan “semua bisa kena dan kalau kena berarti penularannya masih tinggi, berarti protokol kesehatan enggak dijalankan di situ, di mana pun itu.”
Ini penting karena, menurutnya, jangan sampai “salah fokus dengan adanya [data] kayak gitu,” katanya kepada reporter Tirto, Kamis.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansah langsung menunjuk hidung Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Ia menegaskan Kemenkes sebagai garda terdepan kesehatan masyarakat seharusnya mampu menjadi contoh ketaatan terhadap protokol kesehatan.
“Terawan tidak melaksanakan protokol kesehatan secara sungguh-sungguh. Tiap hari berkoar dan membuat syahwat pencitraan dengan menyebut masyarakat tidak patuh, tapi abai itu justru pada mereka sendiri,” ujar Trubus kepada reporter Tirto, Jumat.
Tingginya kasus penularan juga mengindikasikan pola edukasi dan pengawasan yang tidak berjalan optimal, padahal selain mereka semestinya paham, sejak Juli 2020 Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi DKI Jakarta juga sudah mengeluarkan Surat Keputusan Kepala Disnaker No 1477 tahun 2020 yang mengatur masing-masing kantor wajib membentuk Satgas Internal Covid-19.
Selain di Kemenkes, penularan cukup tinggi juga terjadi di Kementerian Perhubungan. Jumlahnya 175 kasus. Lalu Kementerian Komunikasi dan Informasi dengan 65 kasus, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) 89 kasus, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 106 kasus. Semua data per 18 September.
Fakta banyaknya kementerian/lembaga yang jadi tempat penularan virus perlu menjadi titik balik evaluasi penanganan Covid-19. “Mereka [pemerintah] harus jujur saja jika sudah gagal. Masyarakat harus mengawasi. Apalagi di Jakarta sudah [zona] merah. Supaya ada solusi,” tambah Trubus.
Trubus juga menyayangkan sikap Kemenkes yang tidak terbuka soal kasus penularan Covid-19 di lingkungan internal. Memang tak ada pengumuman resmi dari mereka, pun sulit dikonfirmasi.
Hal itu pula yang disayangkan epidemiolog dari Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Mouhammad Bigwanto. Idealnya, ketika ada penularan bahkan muncul klaster, informasi itu segera diumumkan ke publik.
Tujuannya tidak lain agar orang-orang yang pernah berkontak dengan orang atau lokasi tersebut bisa segera mengantisipasi dengan cara mengisolasi diri atau memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan.
Semua ini penting guna memutus mata rantai penularan, apalagi kapasitas tracing di Indonesia khususnya DKI Jakarta masih bernilai merah. KawalCovid19 memiliki indikator Rasio Lacak dan Isolasi (RLI), yakni perbandingan antara jumlah pasien positif dengan jumlah probabel dan suspek.
Indikator ini berusaha mengetahui berapa orang yang di-tracing per satu kasus positif. Hasilnya, RLI Jakarta Pusat 1,49; Jakarta Utara 1,66; Jakarta Barat 1,86; Jakarta Selatan 2,12; dan Jakarta Timur 1,80. Artinya, secara rata-rata hanya sekitar 1-2 orang yang dijadikan suspek per satu kasus positif.
“Sehingga masih betul-betul mengandalkan kesadaran masing-masing,” kata Bigwanto kepada Tirto.
Bigwanto mengingatkan bahwa virus tidak bisa dihadapi dengan pencitraan. Ketika kasus disembunyikan justru yang didapat adalah ledakan masalah di kemudian hari.
“Ini momentum buat Kemenkes. Enggak perlu menyangkal, sampaikan, dan edukasi masyarakat untuk tidak menstigma supaya kita bisa men-support bareng-bareng,” tandas Bigwanto.