Mbah Hendri, 35 Tahun Jadi Wanatani Tenggarong Asal Sukabumi, Tolak Tawaran Rp10 Miliar
"Saya sudah hampir 35 merawat hutan ini. Menurut saya usaha perkebunan dan kehutanan yang harus diutamakan. Kalau untuk tanaman pangan ya biarlah di Jawa dan Sumatera saja," tambah Mbah Hendri
JAKARTA, DIFANEWS.com — Suasana segar alami sangat terasa begitu memasuki kawasan seluas 3 hektare di jalan Pesut, Kelurahan Timbau, Tenggarong, Kalimantan Timur. Di tengah kerimbunan pepohonan tertata rapi, hijau dan indah, ada pondok sederhana namun unik akan menyambut siapa saja yang datang.
Kerimbunan pepohonan itu merupakan kawasan wanatani milik Suhendri –biasa disapa Mbah Hendri
Mbah Hendri sebenarnya bukan asli Tenggarong, melainkan Sukabumi, Jawa Barat kelahiran 3 September 1945. Awalnya Mbah Hendri bekerja di persemaian milik Dinas Kehutanan.
“Saya datang ke sini untuk bekerja di persemaian milik Dinas Kehutanan,” ungkap Mbah Hendri kepada infosatu.co, Senin (16/11).
Mbah Hendri berhenti bekerja pada 1976 dan memulai usaha mandiri dengan membuka kedai kopi sekaligus merintis usaha wanatani yang lahannya saat itu ia beli seharga Rp100 ribu.
“Saya prihatin dengan kekayaan hutan Kalimantan Timur yang dibiarkan habis dibabat perusahaan. Padahal tanah disini cocoknya untuk tanaman jangka panjang, tanaman keras,” tutur Mbah Hendri
Menurutnya, untuk membangun hutan, sebenarnya tidak membutuhkan modal amat besar, tetapi lebih kepada niat, kesungguhan, dan ketekunan. Selama lebih 35 tahun ini Mbah Hendri membuktikan ia mampu menghijaukan wilayah hutan bagi Kota Tenggarong.
“Saya sudah hampir 35 merawat hutan ini. Menurut saya usaha perkebunan dan kehutanan yang harus diutamakan. Kalau untuk tanaman pangan ya biarlah di Jawa dan Sumatera saja,” tambah Mbah Hendri
Pada 1985, Mbah Hendri menanam bibit damar (Agathis Lorantifolia) yang ia peroleh dari rekannya di Sukabumi. Banyak orang ragu pohon itu bakal tumbuh di Tenggarong. Damar hanya tumbuh pada area dengan ketinggian 900 meter di atas permukaan laut, sementara Tenggarong mempunyai ketinggian hanya 30 meter di atas permukaan laut. Keraguan itu terjawab saat bibit pohon itu tumbuh dengan baik.
“Ternyata bisa tumbuh. Padahal saya tidak memiliki ilmu kehutanan dan hanya berbekal pengalaman bekerja di persemaian.”
Dengan kegigihannya lahan yang dulu dibeli masih berupa alang-alang kini telah berubah menjadi hutan dengan koleksi lebih dari 50 jenis tanaman.
Kurang lebih 600 tegakan berbagai jenis pohon seperti damar, meranti, kapur, pinus, kayu putih, ulin, dan sengon. Di sela-sela tanaman itu, Mbah Hendri melakukan tumpang sari dengan menanam kopi dan teh.
Dengan lebih dari 35 tahun mengolah dan merawat lahan yang asri ini banyak penghargaan baik dari pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten diperoleh Mbah Hendri.
Salah satu yang membahagiakan adalah kala ia diundang menghadiri peringatan HUT Kemerdekaan RI di Istana Negara. Pada kesempatan itu ia sempat bertemu dan bersalaman dengan Presiden Suharto.
Di dinding pondoknya juga banyak tergantung foto dari rombongan mahasiswa, peneliti dan aparatur negara dari berbagai daerah. Mereka datang untuk belajar dan bertukar pengalaman, menimba ilmu yang diperoleh Suhendri dari interaksi dengan wanataninya.
“Itulah kebahagian terbesar saya, karena apa yang saya lakukan bukan hanya bermanfaat untuk alam melainkan juga untuk ilmu pengetahuan,” beber Mbah Hendri.
Bagi Mbah Hendri merawat dan membesarkan pepohonan merupakan bagian dari garis hidup yang tidak bisa dinilai dalam bentuk rupiah. Itu sebabnya Mbah Hendri pernah menolak tawaran mencapai angka Rp10 miliar untuk pembangunan hotel dan perumahan di lahan miliknya.
Mbah Hendri tetap menginginkan agar lahan miliknya itu menjadi peneduh dan tempat persinggahan berbagai satwa.