Sepakbola Indonesia

Arah Baru Sepakbola Indonesia Versi Taufik Jursal

Jakarta, difanews.com – Sejak tim nasional Indonesia merebut medali emas pada SEA Games 1991, sepakbola Indonesia, khususnya tim nasional senior, sama sekali gagal memberikan kebanggaan bagi bangsa Indonesia. Jangankan di level dunia, dan Asia, di Asia Tenggara pun sepakbola Indonesia tak lagi punya gigi.

Padahal, PSSI bukan anak kemarén soré. PSSI lahir 15 tahun lebih tua dari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. PSSI berdiri sejak April 1930.

Karena itu, sebagai sebuah institusi, eksistensi PSSI mengalami 5 fase:

Fase 1: Zaman Hindia Belanda.
Fase 2: Zaman Kemerdekaan 1945 hingga 1987.
Fase 3: Zaman Éra Batu Sepakbola Indonesia [dengan lahirnya Kompetisi Galatama].
Fase 4: Sepakbola Indonesia di masa krisis ranking FIFA [160 s/d 171 dan merebut medali emas SEA Fames 1991].
Fase 5: Mengejar prestasi di masa dunia yang berubah [2019-2034].

Di fase 5 ini, dunia dilumpuhkan oleh Pandemi Covid-19. Hampir tak ada belahan dunia yang tak ikut terkena dampak pandemi virus corona ini, termasuk Indonesia.

Kompetisi sepakbola Indonesia dihentikan sejak Maret 2020 dan kemungkinan takkan ada kegiatan sepakbola hingga Mei 2021.

Hal ini tentu saja membuat semua pihak, terutama stakeholder sepakbola Indonesia, harus bekerja sangat keras untuk mengembalikan persepakbolaan Indonesia ke trek semula dan lebih baik. Dibutuhkan transformasi arah baru sepakbola Indonesia disesuaikan dengan zaman dan kebutuhan-kebutuhan baru.

Menurut saya, ada tiga langkah yang harus kita lakukan bersama untuk mengejar ketertinggalan sepakbola Indonesia dari negara-negara lain.

Yang pertama mempercepat pembentukan tim taskforce untuk menjalankan Inpres No 3 Tahun 2018.

Yang kedua melakukan transformasi strategi struktur organisasi sepakbola Indonesia.

Hal ini perlu dilakukan agar gerakan perubahan tak hanya dipikirkan dan dilaksanakan oleh PSSI, tapi juga semua sendi dan semua komponen masyarakat di 34 provinsi di Indonesia.

Kita juga harus mengubah mindset bahwa sepakbola préstasi bukan cuma tanggung jawab PSSI dengan semua jajaran di bawahnya –antara lain Asosiasi Provinsi, Asosiasi Kota, dan klub-klub—tapi adalah tanggung jawab bangsa Indonesia.

Ketika ranking Indonesia di FIFA stagnan sejak 4 tahun terakhir, yang seharusnya merasa malu bukan hanya stakeholder sepakbola Indonesia, tapi seluruh bangsa Indonesia.

Yang ketiga adalah transformasi strategi struktur pembinaan sepakbola Indonesia.

Sepakbola Indonesia bisa dikatakan tertinggal 20 tahun dari negara-negara Asia Tenggara seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan kini bahkan dari negara basket Asia Tenggara, Filipina.

Transformasi dan strategi pembinaan menjadi keharusan buat Indonesia karena jelas hingga saat ini ranking Indonesia di FIFA tak berubah. Perubahan ranking dicatat bila Timnas senior berprestasi di event-event resmi AFC dan FIFA.

Saat ini, PSSI sudah jelas tidak mampu mendisain strategi pembangunan préstasi. PSSI perlu bergerak bersama, bersinergi, berpelukan, dengan pemerintah, klub-klub dan komunitas sepakbola, kalangan media termasuk memanfaatkan media sosial, kalangan akademisi, kalangan pebisnis (HIPMI, Kadin, BKPM).

Indonesia hanya membutuhkan 11 pemain di lapangan saat pertandingan, tapi di belakang itu dibutuhkan orang-orang cerdas, militan, bekerja simultan, strategis, terukur, terarah.

Catatan: Taufik Jursal Effendi, Pegiat sepakbola usia muda dan CEO Persija Barat FC

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button