Diduga Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, 2 Warga Sukabumi Ikut Ditahan di Kantor Polisi Kamboja

DIFANEWS.COM – Sembilan orang Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di Kamboja mengaku ditangkap dan ditahan oleh pihak kepolisian setempat.
Dari kesembilan WNI tersebut, dua orang diantaranya merupakan warga Sukabumi, Jawa Barat. Diduga mereka menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang atau TPPO.
Kepada sukabumiupdate.com, salah seorang korban bernama RBP (27 tahun), Warga Cikole, Kota Sukabumi, melalui sambungan telepon pada Selasa (7/4), menceritakan kondisi dan pengalaman buruknya saat ini. Ia pun meminta pemerintah Indonesia dapat membantu kepulangan mereka ke tanah air.
Ditangkap Dengan Dalih Penyelamatan
Pada Jumat (4/4), RBP bersama delapan orang rekannya ditangkap Polisi Kamboja dengan dalih akan diselamatkan dari perusahaan tempat mereka bekerja. Hingga saat ini mereka sudah lima hari mendekam dalam tahanan kepolisian Kamboja.
“Saat itu polisi langsung gerebek ke tempat kerja saya. Kita kerja 12 jam selama 5 bulan ini tanpa libur sehari pun terus paspor kita ditahan, nah mereka (polisi) membawa kita ini dengan iming-iming mau nyelamatin kita, tapi kenyataannya kami di tahan di sini sudah lima hari,” kata RBP.
“Jadi bukan legal dan ilegal soalnya kami semua juga sudah mengurus visa dan mengurus semua legalitas selama di sini dan dokumen semuanya ada di polisi sampai sekarang,” sambung RBP.
Setelah ditahan, RBP mengaku dipaksa polisi Kamboja untuk membuat surat pernyataan yang ditujukan kepada KBRI di Kamboja terkait keadaan di tempat perusahaannya bekerja.
“Kami disuruh (polisi Kamboja) bikin surat pernyataan palsu bahwa perusahaan tempat saya bekerja itu katanya baik tidak melakukan penahanan apapun, tidak mempekerjakan pekerja dengan tidak wajar,” ungkapnya.
Selain itu, sambung RBP, selama lima hari dikurung di kantor polisi Kamboja, ia bersama temannya harus membayar sejumlah uang untuk sewa kamar, makan, hingga kebutuhan sehari-hari.
“Saya harus bayar ke polisi, megang telepon sekarang kita dapat ke ruangan tidak sesak ga kayak di penjara meskipun emang tetap dikerangkeng kita bisa pesan makan bisa apa itu bayar lagi. Terus buat makan sehari hari bayar lagi. Terus kadang polisi bayar lagi untuk hariannya terus aja itu uangnya,” paparnya.
“Buat satu orang satu hari 100 dolar terus buat kamar itu 200 dolar. Terus kalau kita pesan makan sendiri bayar sendiri. Misalnya kita pesan makan 30 dolar itu harus bayar ke polisi 5 dolar,” tambahnya.
Pernah Bekerja di Dubai
RBP mengungkapkan, sebelum ditangkap Polisi Kamboja pada Jumat (4/4), ia bersama delapan orang lainnya merupakan satu tim dalam bekerja sebagai Digital Marketing dan Bisnis Development di salah satu perusahaan ternama di Dubai.
Namun kemudian mereka mendapatkan penawaran menarik dari salah satu perusahaan lain dari Cina pada Desember 2024 untuk dipekerjakan di Vietnam sebagai Digital Marketing dan Bisnis Development dengan iming-iming gaji Rp75 juta per bulan.
“Nah kita diiming-imingi dengan komisi dan gaji yang besar, kita pun gak tahu ini bakal ke Kamboja. Sebenarnya ada yang lewat Vietnam, ada yang tiba-tiba ada di suatu tempat di Kamboja. Kita udah masuk ke human trafficking ya,“ jelasnya.
Selanjutnya, beber RBP, setibanya di Kamboja (saat itu), tanpa sepengetahuannya, ia bersama delapan orang rekannya langsung dipekerjakan di salah satu perusahaan scaming di Kamboja.
“Nah di situ kita dipaksa kerja selama lima bulan kurang lebih sampe sekarang, kerjanya nipu scamming, kita dipaksa kerja kalau gak ada kekerasan fisik dan lain-lain, handphone kan disita semuanya, paspor disita dan lain-lain,” ungkapnya.
Lebih lanjut, selama bekerja, sembilan WNI itu mengaku kerja di bawah tekanan dengan gaji yang dibayarkan hanya 1000 dolar atau sekitar Rp17 juta sebulan dengan banyak potongan.
“Rp75 juta itu janji gaji, uang makan, uang lembur dan komisi. Tapi kenyataannya kita cuman digaji sekitar 1000 dolar aja,” tuturnya.***