Jepang Ingatkan Perusahaan Tidak Pecat atau Pulangkan Pekerja Asing Magang yang Hamil
“Mereka yang memecat pekerja magang atau memulangkan mereka karena kehamilan hanya berpikir trainee adalah tenaga kerja murah atau budak yang tak berguna,” kata Ibuski.
JAKARTA, DIFANEWS.com — Pemerintah Jepang telah mengeluarkan peringatan, Kamis (14/3), kepada perusahaan-perusahaan di negara itu agar tidak memecat atau memperlakukan tidak adil para pekerja magang atau trainee asing yang hamil saat bekerja.
Dengan banyaknya pekerja magang yang menyatakan keprihatinan tentang dampak kehamilan yang mungkin terjadi pada status pekerjaan mereka, setelah beberapa dari mereka dipaksa mempertimbangkan aborsi atau kembali ke rumah, pemerintah pada Senin (11/3) mengatakan kepada perusahaan yang menerima dan mengawasi peserta pelatihan asing bahwa hal itu melanggar undang-undang kesetaraan gender jika wanita tersebut diperlakukan tidak adil karena pernikahan, kehamilan atau persalinan.
Pola menggunakan tenaga kerja magang yang disponsori pemerintah diperkenalkan sejak 1993. Tujuannya adalah mentransfer ilmu ke negara-negara berkembang. Namun, belakangan, kebijakan itu dikritik karena dijadikan kedok bagi sejumlah perusahaan untuk mendapatkan tenaga kerja murah.
Badan-badan pemerintah seperti kementerian kehakiman dan kementerian perburuhan mengataan mereka sudah memperingatkkan perusahaan-perusahaan tidak masuk ke dalam ranah pribadi para pekerja magang karena itu bertentangan dengan undang-undang program magang.
Pemerintah juga mengingatkan kepada pihak-pihak terkait, terutama perantara pekerja magang dan perusahaan untuk menyampaikan peraturan pekerja magang kepada para pekerja sendiri.
Peringatan itu juga disampakan menjelang peluncuran program visa baru di Jepang bulan depan yang akan memungkinkan masuknya lebih banyak pekerja dari luar negeri untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja yang serius di negara itu.
Mereka yang telah ikut serta dalam program magang teknis selama lebih dari tiga tahun akan dapat memperoleh status visa baru yang akan dibuat mulai April, dan pemerintah mengharapkan banyak peserta magang untuk melamar.
Kementerian Kehakiman mengatakan telah menerima laporan dari para pendukung magang teknis yang menyoroti kasus-kasus di mana calon trainee yang hamil diancam akan dipecat.
Sementara itu pula, Serikat Pekerja Zentouitsu, organisasi buruh yang berbasis di Tokyo yang mengurus pekerja asing, mengatakan menerima banyak permintaan untuk konsultasi dari peserta magang perempuan.
“Karena skema magang teknis asing itu sendiri tidak memungkinkan untuk kasus-kasus kehamilan atau persalinan, peserta pelatihan percaya bahwa mereka tidak boleh hamil,” kata Shiro Sasaki, sekretaris jenderal Zentouitsu.
“Kurangnya persiapan dalam menciptakan sistem adalah alasan untuk memaksa aborsi dan pemulangan. Kasus yang terungkap ini hanyalah puncak gunung es,” katanya pula.
Shoichi Ibuski, seorang pengacara yang memiliki pengetahuan tentang masalah-masalah trainee asing, mengatakan fakta bahwa pemerintah perlu mengingatkan dan menginformasikan masalah pekerja magang asing yang hamil menunjukkan seriusnya masalah ini.
“Mereka yang memecat pekerja magang atau memulangkan mereka karena kehamilan hanya berpikir trainee adalah tenaga kerja murah atau budak yang tak berguna,” kata Ibuski, “Jika mereka tidak bisa memperlakukan pekerja sebagai manusia, mereka tidak selayaknya berbisnis.”
November 2018, seorang pekerja Vietnam berusia 20 tahun yang datang untuk mengikuti pelatihan di perusahaan pabrik kertas di Jepang Barat, mengaku seorang ofisial di pusat pelatihan, memerintahkannya untuk melakukan aborsi atau kembali pulang saja ke Vietnam.
Wanita itu juga mengaku, karena kehamilannya, diminta pulang oleh perusahaan di Vietnam yang merekrutnya, di mana hal itu merupakan tindakan ilegal di Jepang.
Pada Januari 2019, seorang pekerja Cina berusia 20 tahun, ditangkap atas dugaan meninggalkan bayinya di daerah perumahan di Tokyo karena takut dipulangkan dari pekerjaannya di perusahaan pengolahan makanan.