Cerita Pendek

Ki Cungkring

Cerpen: Aba Mardjani

Ki Cungkring mati. Kabar itu menyebar ke seluruh penduduk Cibaresah bahkan sebelum diumumkan di surau dan masjid di kampung terpencil itu. Hampir semua orang tahu, disampaikan dan didengar dari mulut ke mulut. Melalui papasan jalan satu sama lain, melalui tongkrongan tiga-empat orang di kedai-kedai kopi, melalui obrolan di warung-warung, di ladang-ladang, di sawah-sawah, di mana saja.

Ki Cungkring tutup usia. Kabar itu disambut sebagian besar warga Cibaresah dengan suka cita. Ada yang terang-terangan mensyukuri kepergiannya. Ada yang diam-diam menyembunyikan rasa senangnya. Hanya sebagian kecil yang merasa berduka. Terutama orang-orang terdekatnya. Dan sejumlah ustadz atau guru-guru agama di desa itu.

Ki Cungkring meninggal dunia. Itu kabar yang lama ditunggu sebagian besar warga Cibaresah. Sebagian bahkan merasa lega setelah menduga malaikat pencabut nyawa tidak memiliki daftar nama Ki Cungkring dalam buku besarnya sehingga ia bisa bertahan hingga usia 93 tahun. Sebagian orang sebelumnya sering berseloroh, bahwa malaikat pencabut nyawa mungkin selalu tersesat untuk datang ke hadapan Ki Cungkring untuk merenggut nyawanya. Atau Ki Cungkring memang benar-benar bisa menghilang dari pandangan sang malaikat.

Masuk akal jika mereka menduga malaikat pencabut nyawa  selalu tak dapat menghampiri rumah Ki Cungkring mengingat kesaktiannya tiada tara tiada banding.

Di desa itu, ada tiga orang yang sangat membenci sepakterjang Ki Cungkring. Ki Anaib, Ki Murib, dan Ki Jelantah. Mereka merasa sangat dirugikan oleh keberadaan Ki Cungkring di desa itu. Ketiganya beberapa kali sempat coba menangkal kesaktian Ki Cungkring. Namun, tak ada yang benar-benar berhasil.

Saking jengkelnya, Ki Anaib sekali waktu sampai-sampai sesumbar di hadapan banyak orang. “Sampai ke lubang kubur pun kukejar dia!” katanya geram. Tapi, Ki Anaib yang hidungnya begitu mancung seperti paruh burung betet, tak pernah benar-benar berani menantang Ki Cungkring seorang diri.

Ki Murib pernah bersamadi menambah kesaktiannya untuk bisa menandingi kehebatan ilmu angin puting beliung Ki Cungkring. Namun, setelah merasa yakin cukup kuat untuk mengalahkan dan melumpuhkan ilmu Ki Cungkring, Ki Murib yang matanya hampir selalu nampak terpejam itu tetap saja gagal.

Ki Jelantah yang memiliki tubuh tambun dan nampak berminyak juga pernah melanglang ke banyak tempat keramat untuk mencari ilmu penangkal hujan badai Ki Cungkring. Tapi, begitu pulang ke Cibaresah dan coba menjajal keampuhan ilmunya, tetap saja ia belum benar-benar bisa mengalahkan kepiawaian ilmu Ki Cungkring.

Tak ada yang benar-benar tahu siapa Ki Cungkring yang sebenarnya. Nama sebenarnya pun tak ada yang tahu dengan pasti. Sebagian mengatakan Ki Cungkring bukan asli penduduk Cibaresah. Ia datang entah dari mana. Ia dipanggil dan dikenal dengan nama Ki Cungkring karena tubuhnya yang jangkung untuk ukuran umumnya warga Cibaresah dan kurus seperti kurang makan. Sebagian warga juga menyebut Ki Cungkring sebagai Ki Bambu. Tubuhnya menjulang dan sedikit bungkuk.

Di Cibaresah, ia tinggal di sebuah rumah gubuk sangat sederhana seorang diri sejak istrinya meninggal dunia. Ia tak memiliki anak atau keturunan. Setiap pagi ia pergi ke ladang, mengolah sebidang lahan miliknya persis di belakang gubuknya. Ia menanam singkong, merawat pohon pisang atau pohon-pohon lain. Dari kebun itulah ia menghidupi dirinya.

Tapi, kemiskinan tak pernah membuat Ki Cungkring nampak susah. Ia tak pernah meminta-minta. Ia tidak pernah membuat repot tetangga-tetangganya. Bahkan ia selalu menolak bantuan orang-orang di sekitarnya yang menaruh iba melihat kehidupannya.

Tidak ada yang meragukan kesaktian Ki Cungkring mengundang angin puting beliung atau hujan badai. Karena itu, selama ada Ki Cungkring, tak pernah ada warga yang berani menggelar pesta perkawinan dengan mengadakan hiburan berupa orkes dangdut atau layar tancap karena hal itu hanya akan mengundang malapetaka besar.

Hampir semua warga yang pernah menggelar hiburan orkes dangdut atau layar tancap pernah merasakan akibatnya. Kadang-kadang pesta mereka digagalkan dengan angin puting beliung yang meluluh-lantakkan panggung orkes dangdut yang baru saja diririkan. Di kali yang lain, pesta perkawinan dibuat berantakan oleh hujan tiada henti disertai petir yang menyambar-nyambar membuat tak seorang pun berani keluar rumah.

Ki Cungkring selalu datang satu atau dua hari kepada si empunya hajat dan meminta pesta dangdutan atau pertunjukan layar tancap dibatalkan. Jika mereka tetap membandel, mereka akan menerima akibatnya.

Ki Anaib juga pernah merasakan akibatnya ketika anaknya menggelar pesta perkawinan bagi cucunya. Ki Anaib mendapat pengaduan dari anaknya bahwa Ki Cungkring meminta ia membatalkan pertunjukan orkes dangdut untuk pesta perkawinan di rumahnya.

“Jalan terus,” kata Ki Anaib. “Tak usah kau dengar ocehannya. Aku akan bertanggung jawab. Kalau Cungkring mengganggu pestamu, aku yang akan lawan bersama Murib dan Jelantah.”

Tapi, angin puting beliung datang tiba-tiba satu jam sebelum pertunjukan dimulai. Panggung hiburan berantakan. Roboh. Hancur. Peralatan orkes beterbangan. Rusak sedemikian rupa.  Pemilik orkes minta ganti rugi kepada Ki Anaib karena dialah yang menjamin segalanya akan berjalan aman tanpa gangguan.

Ki Anaib marah besar. Keesokan harinya, dengan pedang panjang ia bergegas ke rumah Ki Cungkring untuk melenyapkan laki-laki kurus kerempeng itu. Tapi, Ki Anaib pulang dengan tangan hampa. Ia bahkan tak menemukan rumah Ki Cungkring. Ia seperti lupa arah dan letak rumah Ki Cungkring. Sosok Ki Cungkring yang dicarinya kemana-mana juga tak dijumpainya.

“Bagaimana, Bapak?” tanya anak Ki Anaib begitu melihat sang ayah pulang.

“Dia ngumpet. Entah di mana. Dia ketakutan. Itu dapat kupastikan. Mungkin ia bersembunyi ke lubang semut,” jawab Ki Anaib dengan napas terengah masih menahan amarah. “Hari ini dia mungkin saja selamat. Tapi ingat, di lain waktu ia takkan bisa menyelamatkan dirinya. Sebab, aku, Ki Anaib, akan mengejarnya. Ke lubang kubur pun dia akan kukejar. Dia takkan bisa menghindar terus menerus.”

“Bapak yakin?” tanya anak Ki Anaib.

“Kau pun mulai meragukan kemampuanku,” mata Ki Anaib memerah. “Tidak ada yang selamat dari kejaranku.”

Tapi, kini, Ki Cungkring mati. Jasadnya sudah dikubur di sebuah tanah wakaf di ujung kampung. Hampir separuh warga Cibaresah yang merasa kehilangan sosok Ki Cungkring mengantarkan jenazahnya sampai dibenamkan di liang lahat. Mereka tahu arti kepergian Ki Cungkring.

Sebagian warga lainnya hanya mendengar-dengar bagaimana proses pemakaman Ki Cungkring dengan hati penuh rasa bahagia. Sebab, mereka kini bisa bebas menggelar pesta perkawinan atau pesta-pesta lainnya dengan hiburan apapun yang mereka inginkan. Hiburan pesta berupa orkes dangut dan layar tancap, atau sekadar organ tunggal, kini bisa mereka nikmati sesuka hati.  Mereka bisa berjoget sambil  mabuk. Penuh gelak tawa.

Tak akan ada lagi angin puting beliung yang menghancurkan panggung hiburan atau menerbangkan layar tancap. Tak ada lagi hujan badai yang membuat pesta perkawinan sepi pengunjung yang ingin menikmati hiburan.

Suatu sore, Ki Anaib kembali kedatangan anaknya. Melaporkan bahwa ia akan menikahkan anaknya yang kedua.

“Panggil orkes dangdut paling kesohor di kampung kita,” kata Ki Anaib setelah mendengarkan penuturan sang anak. “Cungkring sudah jadi tanah. Sudah mati. Tubuhnya sudah dimakan belatung. Sudah tidak bisa ngapa-ngapain. Sudah tak mungkin mengganggu kita. Jadi, kau tidak usah takut. Kalau kau kekurangan biaya, biar aku yang bayar.”

Anak Ki Anaib tentu saja senang mendengar perkataan ayahnya itu.

Pada pesta itu, Ki Anaib pun turun berjoget tanpa ingat usia. Ia juga menyawer wanita penyanyi tak henti-henti. Menyisipkan uang di sela-sela dada penyanyi dangdut yang meliuk-liukkan bagian-bagian tubuh sensualnya di atas panggung. Tak lupa juga ia memesan lagu-lagu kesukaannya.

“Ayo, kita nikmati kebebasan kita. Bila perlu sampai matahari terbit,” katanya seraya terkekeh-kekeh.

Ki Murib dan Ki Jelantah pun turut melantai menimpali Ki Anaib. Dalam hal kesaktian, Ki Murib dan Ki Jelantah harus mengakui kelebihan Ki Anaib. Keduanya ikut berjoget sesuka hati. Tak lupa tertawa tergelak-gelak. Keduanya juga turut menyawer penyanyi. Uang mereka seperti tak habis-habis.

“Cungkring sudah mati. Dia seharusnya memang segera mati. Dia mati kena sumpah kita. Sesakti-saktinya orang, pada akhirnya bakal dikubur,” kata Ki Anaib di atas panggung ketika orkes tengah beristirahat.

“Aku pernah ke rumahnya. Mengejarnya. Tapi dia sembunyi seperti tikus. Masuk ke lubang dan tak berani keluar,” tambah Ki Anaib.

“Ingat sumpahku. Ke lubang kubur pun dia kukejar. Tapi, dia keburu mati. Sekarang kita, kalian, bisa menikmati kebebasan kita. Ayo. Sampai  pagi!”

Setelah itu, Ki Anaib turun dari panggung dengan gagah. Ia melangkah pongah menuju sebuah kursi yang khusus disediakan untuknya. Kursi yang tak pernah berani diduduki orang lain.

Lama ia duduk di kursinya. Menyandarkan kepalanya. Ia nampak kelelahan setelah berjoget tiada henti. Setelah tertawa tiada habis-habisnya. Matanya nampak terpejam. Ia rupanya tertidur pulas.

Anak Ki Anaib mendekati ayahnya ketika pertunjukan orkes hampir selesai. Ia membangunkan sang ayah. Tapi, sang ayah tak pernah bangun. Tubuhnya dingin. Anak Ki Anaib meraba nadi di pergelangan tangan sang ayah, Tak ada denyutan.

Anak Ki Anaib menangis sejadi-jadinya. Dalam tangisnya ia terngiang ucapan sang ayah, “Ingat sumpahku. Ke lubang kubur pun dia kukejar.” ***

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button