Peneliti BRIN Bongkar Jejak Meteor Raksasa Guncang Langit di Cirebon, Sebut antara Takjub dan Waspada
Dengan ukuran sedemikian besar, meteor itu mampu menimbulkan gelombang kejut yang cukup kuat hingga terdengar puluhan kilometer.

DIFANEWS.COM – Cahaya merah yang melintas di langit Cirebon pada Minggu (5/10) lalu tengah menjadi perbincangan hangat di media sosial.
Sebelumnya diketahui, suara dentuman keras yang disertai cahaya oranye pada peristiwa itu dilaporkan sempat membuat warga panik dan penasaran tentang fenomena tersebut.
Beragam spekulasi pun beredar, mulai dari ledakan pabrik, kepulan asap dari perkebunan tebu, hingga teori konspirasi benda luar angkasa yang memenuhi linimasa media sosial.
Berkaca dari hal itu, kini penjelasan ilmiah datang dari peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin, yang mengklaim sumber suara itu disebabkan karena adanya meteor besar yang melintas cepat di langit wilayah Cirebon hingga Kuningan.
Mengurai teka-teki tersebut, Thomas bahkan membeberkan pantauan sensor getaran dan memunculkan dugaan adanya benda asteroid meteor berukuran antara 3 hingga 5 meter.
Analis BRIN itu bahkan menilai, fenomena itu bukan sekadar peristiwa langka, tetapi juga pengingat betapa ‘ramainya’ lalu lintas benda langit di sekitar bumi.
“Adanya dentuman yang terdengar di wilayah Kuningan dan Kabupaten Cirebon. Terdeteksi adanya getaran oleh BMKG Cirebon di Astanajapura (ACJM) pada pukul 11:39:12 UT atau 18:39:12 WIB pada azimut 221 derajat (arah barat daya),” kata Thomas dalam pernyataan resminya, pada Selasa (7/10).
Lantas, apa saja hal-hal yang menuai sorotan khusus dari Thomas Djamaluddin atas fenomena cahaya merah yang sempat menggemparkan warga Cirebon?
Berikut ini ulasan selengkapnya.
Meteor Melintas, tapi Tak Sentuh Bumi
Thomas mengungkapkan analisisnya tidak hanya berdasarkan suara dentum, tetapi juga rekaman CCTV dan laporan warga dari berbagai daerah.
Peneliti BRIN itu menyebut, salah satu laporan itu termasuk dari wilayah Tasikmalaya, dengan penampakan bola api melintas di langit barat daya.
Thomas merangkai semua data itu untuk memetakan lintasan terkait adanya dugaan meteor di Cirebon itu.
“Berdasarkan fakta-fakta tersebut, saya menyimpulkan fenomena dentuman di Cirebon dan sekitarnya adalah meteor cukup besar yang melintas dari arah barat daya di selatan Jawa, lalu ke wilayah Kuningan dan Kabupaten Cirebon sekitar pukul 18.35-18.39 WIB,” jelasnya.
Dengan ukuran sedemikian besar, meteor itu mampu menimbulkan gelombang kejut yang cukup kuat hingga terdengar puluhan kilometer.
Di sisi lain, Thomas menuturkan, kemungkinan besar meteor tersebut tidak sampai menabrak permukaan bumi.
Ia memperkirakan benda langit itu terbakar habis di atmosfer, meski mungkin ada fragmen kecil yang jatuh di wilayah terpencil.
Pernah Terjadi di Bone
Dalam paparannya, Thomas mengungkap fenomena serupa yang pernah mengguncang wilayah Bone, Sulawesi Selatan, pada tahun 2009 silam.
Saat itu, meteor yang jatuh jauh lebih besar dan menimbulkan getaran hingga kaca jendela rumah warga bergetar.
“Kalau kita bandingkan dengan kejadian meteor Bone 2009, yang menimbulkan dentuman keras yang terdengar sampai jarak 10 km dan kaca jendela rumah warga bergetar, meteor Cirebon ukurannya lebih kecil namun cukup menimbulkan gelombang kejut,” ujarnya.
Thomas menilai, perbedaan ukuran itu membuat efeknya tidak terlalu merusak. Namun, tetap menjadi pengingat bahwa peristiwa langit seperti ini bukan hal mustahil terjadi di Indonesia.
Ia memperkirakan, meteor Cirebon berukuran sekitar 3-5 meter dan cukup besar untuk menimbulkan efek akustik dan visual yang menghebohkan.
Fenomena yang Bikin Takjub dan Waspada
Sebelumnya dilaporkan tidak sedikit warga yang menyaksikan fenomena itu mengaku antara takut sekaligus kagum.
Meski begitu, bagi para ilmuwan, setiap peristiwa seperti ini adalah kesempatan berharga untuk belajar lebih banyak tentang interaksi bumi dan benda langit.
Thomas menyebut, hingga kini BRIN tengah mengumpulkan data lanjutan, termasuk potensi lokasi jatuhnya fragmen meteor bila memungkinan adanya.
“Fenomena seperti ini bisa menjadi laboratorium alami untuk memahami dinamika atmosfer dan energi benda langit saat memasuki bumi,” tandasnya.***