Kecanggihan teknologi yang tanpa batas seperti sekarang ini, mungkin nggak sih generasi milenial menyampaikan gagasan yang diterima oleh warganet di Indonesia, diapresiasi oleh nitizen di dunia dan pemikiran yang melintasi jamannya?
Kenapa hal ini perlu dipertanyakan. Soalnya, membayangkan pada masa penjajahan Belanda, nyaris semua bidang kehidupan dikuasai oleh satu kekuatan kekuasaan yang mutlak.
Begitu pun, apa yang akan dilakukan seorang wanita belia, berusia 12 tahun yang terkungkung budayanya dan terjajah kemerdekaan bangsanya, wanita yang dituntut untuk taat kepada aturan tata krama yang berlaku di strata sosial dan harus manut patuh terhadap suami. Bagi banyak orang, apalagi wanita, umumnya pasrah, nrimo, tidak bisa berbuat apa-apa, berdiam diri di dalam kesibukan domestik, aktivitas sehari-hari sebatas dari dapur, sumur, dan kasur.
Keterkungkungan yang melingkupinya itu tidak menghalangi seorang wanita trinil, yang lincah kalau berjalan, untuk belajar dan membaca tentang banyak hal, ia mencermati, apa yang dirasakan di negerinya dan mengamati apa yang terjadi di luar bangsanya.
Dengan segala keterbatasan teknologi, ia mampu menuangkan perasaan dan pikirannya melalui tulisan, kemudian mengirim surat kepada sahabatnya, Rosa Abendanon di Balanda. Dari tulisan itu, dibukukan dengan judul “Dari Kegelapan Menuju Cahaya/Habis Gelap Terbitlah Terang”, kemudian ia dikenal, RA Kartini sebagai pahlawan emansipasi wanita Indonesia.
Nah, dengan teknologi yang memanjakan sangat memudahkan bagi generasi milenial untuk membangun jaringan persahabatan lewat berbagai media sosial dan media digital lainnya, generasi melenial dan generasi Alfa seharusnya dirangsang untuk menangkap peluang, menaklukan tantangan yang bercabang-cabang.
Di jagat internet, mereka bisa berselancar di mbah Google secara leluasa, banyak informasi dan data yang bisa diolah sebagai refrensi untuk dijadikan inspirasi gagasan, mengkaji dan menguji pemikiran kepada berbagai komunitas, lembaga pendidikan dan pakar ahli dari manca negara.
Sekiranya ide gagasan itu sebagai karya yang membangun peradabaan baru, membuka cakrawala baru, membuka paradigma yang bisa diterima oleh nitizen secara menggelobal, maka dengan satu sentuhan ‘klik’ akan menyebar ke suluruh dunia dalam waktu cepat, singkat, secara bersamaan, real time, bisa dibaca oleh berjuta Rosa Abendanon lainnya.
Bandingkan dengan RA Kartini, untuk menyampaikan gagasannya memerlukan waktu lama dan hanya satu orang yang membaca ide emansipasinya itu. Kini, dengan kemajuan internet yang tanpa batas, memungkinkan seorang bisa bersinergi, berkolaborasi dan berbagi inspirasi kepada berjuta-juta orang dari bermacam negara. Jadi, RA Kartini seharusnya milenial bisa lebih hebat.