DIFANEWS.COM – Mantan juara dunia Heather Hardy resmi mengajukan gugatan hukum yang mengejutkan dunia tinju. Ia menuduh promotor terkemuka dan perusahaan peralatan olahraga gagal melindungi kesehatannya, tidak menyediakan asuransi wajib, dan memberikan kompensasi yang tidak layak selama karier yang membuatnya menderita kerusakan otak permanen.
Gugatan yang diajukan pada 11 September di pengadilan negara bagian New York ini menggambarkan perjalanan hidup Hardy yang dramatis: dari lingkungan kelas pekerja di Brooklyn hingga menjadi bintang internasional, sebelum akhirnya jatuh ke dalam penderitaan fisik dan finansial yang mengerikan.
Pihak-pihak yang digugat antara lain promotor ternama Lou DiBella, perusahaan DiBella Entertainment Inc., Everlast Worldwide Inc., serta beberapa perusahaan lainnya.
Kebutaan Mendadak dan Kerusakan Otak
Hardy, yang kini berusia 43 tahun, dikenal dengan julukan ‘The Heat’ karena gaya bertarungnya yang agresif. Puncak kariernya terjadi pada 2018 saat ia merebut gelar juara dunia kelas bulu WBO.
Namun, kejayaan itu berakhir tragis pada awal 2024.
Saat sedang berlatih untuk laga tinju tangan kosong (bare-knuckle), Hardy tiba-tiba kehilangan penglihatannya. Setelah berhari-hari tak kunjung pulih, dokter spesialis mata mengungkapkan fakta mengerikan: masalahnya bukan pada mata, melainkan pada otaknya.

Karena itu, sang mantan juara dunia ini pun harus hidup dengan CTE (Ensefalopati Traumatik Kronis) dan kerusakan lobus frontal, kejang-kejang harian, konvulsi, dan kejang otot, gangguan penglihatan parah hingga tidak bisa membaca peta.
Ia juga kehilangan kemampuan kognitif dasar, seperti sering tidak bisa membedakan mana tangan kanan dan kiri.
Eksploitasi Finansial: Hanya Dibayar Rp300 Juta per Tahun?
Gugatan Hardy mengungkap ketimpangan yang mengejutkan. Meski memiliki rekor 24 kemenangan dan 3 kekalahan—secara statistik setara dengan legenda seperti Mike Tyson—penghasilan Hardy sangat memprihatinkan.
Data Komisi Atletik Negara Bagian New York menunjukkan bahwa total pendapatan kotor Hardy selama 12 tahun berkarier hanya sebesar $236.450 (sekitar Rp3,7 miliar). Jika dirata-rata, ia hanya menghasilkan kurang dari $20.000 (sekitar Rp310 juta) per tahun. Angka ini sangat kontras dengan petinju pria yang rutin meraup jutaan dolar dalam satu kali pertandingan.
Gugatan Terhadap Sistem yang ‘Kejam’
Tim hukum Hardy berargumen bahwa kontrak-kontrak yang ditandatangani Hardy bersifat ‘tidak masuk akal’ dan melanggar kebijakan publik. Promotor diduga mewajibkan asuransi kerusakan otak senilai $1 juta, namun Hardy mengklaim tidak pernah menerima perlindungan tersebut atau bahkan informasi cara mengklaimnya.
Lebih miris lagi, meski pernah menjadi juara dunia, Hardy kini tidak mampu membayar asuransi kesehatan pribadi yang layak. Ia harus bergantung pada Medicaid (layanan kesehatan untuk warga kurang mampu di AS) untuk mengobati gejala neurologis dan psikologisnya yang melumpuhkan.
Ia juga hanya mampu melatih tinju selama beberapa jam sehari di gym Brooklyn sebelum gejala kerusakan otaknya membuatnya tak berdaya.
Kasus Heather Hardy ini kini disebut sebagai momen ‘pembalasan’ bagi industri tinju, serupa dengan kontroversi gegar otak di liga NFL, yang menuntut perubahan besar dalam perlindungan atlet, terutama bagi petinju wanita yang selama ini kurang dihargai dan keselamatannya terabaikan.***



