Melihat Jejak Akulturasi Budaya Cina dalam Wayang Cina Jawa di Yogyakarta
Jakarta, difanews.com – Beragamnya budaya Indonesia menjadi ciri khas yang tak tergantikan dari bangsa ini. Salah satu bentuk keragaman itu adalah sejarah akulturasi budaya Cina dan Jawa di Yogyakarta yang melekat pada seni wayang Cina dan Jawa.
Sejarah akulturasi budaya Cina dan Jawa itu tampak pada sebuah pameran yang digelar di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, bertajuk, Harmoni Cina-Jawa dalam Seni Pertunjukan.
Kepala Museum Sonobudoyo, Setyawan Sahli, mengatakan bahwa pameran ini menitikberatkan pada akulturasi dua entitas budaya Cina dan Jawa pada seni pertunjukan.
Sejarah Wayang Cina-Jawa (Wacinwa) sebagai salah satu bentuk akulturasi budaya Cina dan Jawa, tampak pada penciptaan wayang tersebut oleh Gan Thwan Sing, pada 1920-an di Yogyakarta. Gan Thwan Sing adalah seniman peranakan hina yang kali pertama memopulerkan wacinwa pada 1925-1960.
Kisah yang diangkat dalam pertunjukan wayang Cina-Jawa ini, berangkat dari cerita legenda klasik Tiongkok.
Pertunjukan wayang kulit Cina-Jawa ini kerap dimainkan secara masif pada periode tersebut. Dalam perjalanannya, kini wayang unik ini tak lagi dimainkan dalam pertunjukan-pertunjukan seni pedalangan, dan telah berubah menjadi suatu koleksi bersejarah.
Koleksi pertama wayang Cina-Jawa ini tersimpan di Art Gallery, Universitas Yale Amerika Serikat, sedangkan koleksi kedua, kini tersimpan di Indonesia yakni di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta.
Kedua koleksi wayang Cina Jawa ini memiliki penceritaan yang berbeda, yakni kisah tentang Ceng Tsi dan Ceng Tang.
“Di samping memberi pengalaman (sejarah akulturasi budaya) tentang keharmonisan budaya (Cina dan Jawa), pameran ini juga membuka wacana tentang rasa toleransi yang tinggi,” kata Setyawan.
Cerita wayang yang diangkat dalam koleksi yang dipamerkan di Museum Sonobudoyo hingga 27 Maret 2021 ini, mengisahkan tentang Ceng Tang. Kisah Sie Jin Kwie Ceng Tang atau Sie Jin Kwie Menyerbu ke Timur, mengisahkan kepahlawanan seorang tokoh bernama Sie Jin Kwie yang mencapai pangkat Peng Lauw Ong, yakni pangkat kebesaran sebagai Raja Muda.
Dikisahkan Sie Jin Kwie melakukan penyerbuan bersama pasukan Kerajaan Tong untuk menumpas seluruh pasukan di bawah kepimpinan Panglima musuh Kerajaan Ko Lee Kok.
Wayang Cina Jawa dalam koleksi yang dipamerkan dalam pameran Harmoni Cina-Jawa dalam Seni Pertunjukan ini cukup kaya akan karakter yang beragam. Di antaranya tokoh-tokoh dewa dan dewi, kaisar, tokoh pendeta, bangsawan laki-laki dan perempuan, prajurit, panglima, jenderal, dayang-dayang istana, rakyat hingga pedagang.
Keberadaan wayang kulit Cina Jawa ini menjadi petunjuk sejarah yang penting tentang hubungan kedua etnis ini di Indonesia dalam budaya seni pertunjukan.
“Keterbukaan sosial-budaya di Yogyakarta sejak dulu mengajarkan masyarakat yang hidup saat ini tentang rasa inklusif antargolongan, yang tentunya dapat dilihat dari seni pertunjukan,” jelas Setyawan, dilansir Kompas.com.
Selain wayang Cina-Jawa, pameran ini juga menunjukkan bentuk-bentuk akulturasi budaya Cina dan Indonesia seperti wayang potehi.
Tak hanya wayang, sejarah akulturasi budaya Cina dan Jawa pada seni juga lahir di dalam Keraton Yogyakarta, ditampilkan dalam pertunjukan tari, yakni Srimpi Muncar dan Beksan Menak Putri Adaninggar-Kelaswara.