News

Potret Betawi dalam Tulisan: Memandang Orang Betawi dari Sudut Pandang Orang Betawi

JAKARYA, DIFANEWS.com — Betawi telah lama menjadi inspirasi bagi para penulis. Pada era 1950-an, sketsa tentang orang Betawi atau warga Jakarta dikerjakan Firman Muntaco dan terhimpun dalam Gambang Jakarte. Setelahnya, muncul pula esais cemerlang, Mahbub Djunaidi.

Baik Mahbub maupun Muntaco sama-sama menulis dari sudut pandang yang sama, yakni orang Betawi menceritakan orang Betawi, atau, dari sudut pandang `orang dalam`. Bedanya adalah jika Muntaco mengutamakan cerita, Mahbub mendedahkan pemikirannya dalam esai yang sesekali diberi ilustrasi tentang kehidupan orang Betawi.

Namun selain itu, ada juga sketsa tentang kehidupan orang Betawi dan warga urban Jakarta hari ini yang ditulis dari pandangan orang luar Betawi. Itu adalah esai-esai Seno Gumira Ajidarma yang dikumpulkan dalam buku berjudul Obrolan Sukab (2019).

Zen Hae, dalam tulisannya di Beritagar, menyebut pada Muntaco bahasa Betawi menjadi sangat hidup dalam melukiskan romantika kehidupan masyarakat Jakarta setelah kemerdekaan. Pada Mahbub, daya humor terasa sangat subversif, baik yang menyangkut orang Betawi maupun kondisi sosial politik Indonesia pada masa Orde Baru. Seno menetapkan pilihannya pada Sukab dan kawan-kawannya yang segera bisa ditunjuk sebagai `masyarakat pinggiran` atau `wong cilik` setelah Reformasi.

Upaya untuk terus melukiskan kaum Betawi ini juga kembali digiatkan melalui lomba penulisan cerpen Betawi yang digelar dalam rangka Pekan Sastra Betawi 2019 di TIM pada pertengahan Agustus 2019. Bercerita tentang pergulatan orang Betawi mempertahankan diri dan identitasnya, karya-karya itu disumbang tidak hanya oleh para penulis asal Betawi, tetapi juga yang berasal dari suku lain. Artinya, Betawi telah menjadi daya magnet yang luar biasa.

Dalam sebuah diskusi soal media yang dihelat Komisi Penyiaran Indonesia Daerah DKI Jakarta pada 29 Juli 2018 di Pasar Seni Ancol, ternyata citra orang Betawi masih sangat negatif.  Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab. Salah satunya, seperti dikatakan Mahbub, orang Betawi sudah tersingkir akibat pembangunan.

Roni Adi, Ketua Perkumpulan Betawi Kita, mengatakan, “Orang Betawi seringkali dipersepsikan secara salah. Karena itu, upaya melihat kembali potret orang Betawi dalam tulisan menjadi penting untuk memahami dan memaknai suara jernih dari `sisi orang dalam Betawi` ini untuk memperkuat karakter kita, baik sebagai orang Betawi maupun sebagai bagian dari bangsa besar Indonesia yang kian hari terasa mengalami krisis nilai-nilai.”

Untuk itulah, perlu upaya untuk merumuskan kembali citra positif orang Betawi. Mencari kembali potret Betawi dalam tulisan, lantas memaknainya untuk memperkuat karakter sebagai orang Betawi sebagai bagian dari orang Indonesia. Yang teristimewa, sebab di Jakarta-lah, Indonesia lahir—demikian menurut Sukarno.

Diskusi kali ini, sekaligus Kongko Betawi Kita ke-37, akan menghadirkan dua pembicara, yakni, Yahya Andi Saputra—Ketua Bidang Pengembangan dan Penelitian Lembaga Kebudayaan Betawi, serta Idrus Fahmi Shahab—mantan wartawan Tempo serta penulis Ole-Ole Betawi dan Orkes Pemilu.

Diskusi akan dimoderatori Fadjriah Nurdiarsih—penulis, editor Liputan6.com dan pendiri Betawi Kita di Aula Perpustakaan Daerah Cikini, Taman Ismail Marzuki, Minggu, 23 Februari, mulai pukul 14.00-17.00 WIB.T

Tentang Betawi Kita:
Betawi Kita adalah wadah tukar pikiran yang terbuka dan ingin mengembangkan budaya maen pikiran atau wacana intelektual kaum Betawi. Eksplorasi kebetawian dalam Betawi Kita ditempatkan dalam konteks kejakartaan dan keindonesiaan, sebagai bagian upaya memperjuangkan kemanusiaan dalam arti luas. Betawi Kita berbentuk perkumpulan sudah berbadan hukum tetap sejak 2017.

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button