Setiap orang lanjut usia pasti memiliki rahasia-rahasia yang tak pernah diungkapkannya kepada siapa pun, bahkan orang terdekatnya sendiri. Aku mulai meyakini itu ketika Kek Guh, selepas kematian istrinya yang sudah berusia tujuh puluh tujuh tahun, bercerita pada kakekku, bahwa ia menyembunyikan banyak hal dari istrinya tersebut.
“Aku merahasiakan semua ini demi kebaikan bersama, Sun,” kata Kek Guh kepada kakekku yang akrab dipanggil Sun atau Kek Sun—nama lengkapnya Sunjoyo dan kurasa hanya segelintir yang masih mengetahuinya.
“Tapi itu kan artinya selama ini kau membohongi istrimu?”
“Bukan begitu. Kadang keharmonisan lebih penting daripada sekadar kejujuran, Sun. Kau sudah lama hidup di dunia ini, pastilah kau mengerti soal itu.”
Kek Guh menceritakan rahasia-rahasianya yang bahkan membuat Kek Sun selaku kawannya sedari muda tercengang. Kek Guh yang semasa muda bekerja di pelayaran dan menjadi bendahara pabrik gula itu rupanya pernah melalui petualangan-petualangan seru dan saru. Ia pernah tercebur ke laut, bertemu makhluk-makhluk tak dikenal yang disebutnya sebagai jin laut, lalu secara ajaib ia yang nyaris tenggelam bisa kembali ke permukaan dan menggapai tali yang dilemparkan kawannya dari atas kapal. Pernah pula ia dikejar-kejar seorang buruh pabrik gula yang kerasukan karena dituduh tidak membayar upah sesuai angkanya hingga masuk ke hutan yang berada di dekat pabrik. Tapi bukan itu rahasia pentingnya.
“Dulu aku pernah tiga kali menikah. Salah satunya, ketika sudah menikah dengan Nek Mah, aku mengawini seorang perempuan ketika aku menjadi delegasi pabrik gula untuk membincangkan soal kerja sama dengan perusahaan lain di luar kota, Sun. Sebulan kemudian ketika pekerjaanku sudah selesai, aku ceraikan perempuan itu. Nek Mah tak pernah tahu soal itu. Ia bahkan selalu membangga-banggakan diriku sebagai lelaki paling setia. Karena semua lelaki yang ke luar kota pada zaman itu pasti selingkuh, kecuali suamiku, begitu kata Nek Mah. Tiap mendengar Nek Mah berbicara begitu aku cuma bisa tersenyum malu.”
Kek Sun terlonjak mendengar pengakuan itu. Ia merupakan teman terdekat dan terlama Kek Guh. Ia takjub sekaligus heran mengapa soal sepenting itu ia bisa tidak mengetahuinya.
“Semua orang tua macam kita ini pasti punya rahasia-rahasia semacam itu, Sun. Rahasia-rahasia yang berusaha kita tutup rapat-rapat, bahkan dari orang terdekat kita sendiri. Kau juga punya kan, Sun?”
Tepat pada pertanyaan itulah Kek Sun terkaget seperti ada petasan meledak tiba-tiba di saku kemeja batiknya. Kek Sun seperti salah tingkah. Ia gelagapan. Kemudian beranjak tenang ketika Kek Guh kembali buka suara. “Santai saja, Sun. Tak usah kaku begitu.”
Pada waktu itu Kek Guh berumur delapan puluh tiga tahun, Kek Sun berumur setahun lebih muda darinya, dan aku sebagai cucu terkecil kakek yang masih berusia sepuluh takjub mendapati percakapan antar orang tua tersebut tampak seperti percakapan-percakapan anak muda. Begitu hidup dan segar.
Satu minggu setelah Kek Guh mengisahkan rahasianya, ia ditemukan tidur tanpa pernah bangun lagi di atas tempat tidurnya yang dingin dan beraroma cendana. Kata orang-orang yang menyaksikan jasadnya, Kek Guh mati dalam keadaan tersenyum.
“Kalau saja ia belum membuka rahasia-rahasianya itu, kurasa Kek Guh tak akan bisa mati dalam kondisi setenang itu,” ucap Kek Sun.
“Mengapa bisa begitu, Kek?” tanyaku penuh rasa ingin tahu.
“Karena malaikat maut tidak akan mencabut nyawa seseorang yang masih memendam hal yang semestinya ia ungkapkan.”
Tentu saja pada saat itu aku tidak mengerti maksud perkataan Kek Sun. Bahkan hingga saat ini—sepuluh tahun kemudian—aku tidak pernah dapat betul-betul mengerti maksudnya.
Namun kurasa Kek Sun benar. Minggu lalu, pada usianya yang hampir seabad Kek Sun membisikkan sesuatu kepadaku. Satu rahasia besarnya. “Kau tahu, Gus, kenapa dulu aku sangat kaget waktu Kek Guh menyindir soal setiap orang tua punya rahasia? Karena dulu, waktu Kek Guh bekerja di luar kota itu, saat itu aku belum menikah, aku pernah beberapa kali menginap di kamar Nek Mah. Tapi kau tak usah bilang pada siapa-siapa soal ini.”
Hari ini Kek Sun mati di atas tempat tidurnya. Tapi, aku tidak mendapati senyum di wajah tuanya itu. (*)
Cibiru, Februari-Maret 2019
Data Diri Penulis:
Erwin Setia lahir tahun 1998. Penikmat puisi dan prosa. Kini
menempuh pendidikan di Prodi
Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di
berbagai media seperti Koran
Tempo, Media
Indonesia, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi,
Solopos, Haluan, Koran Merapi, Padang
Ekspres, dan Detik.com. Cerpennya terhimpun dalam Dosa di Hutan Terlarang
(2018). Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14 atau melalui surel:
erwinsetia2018@gmail.com.