Cerita Pendek

Tiga Anak Sarbandi

Oleh: Latif N Janah

Oktober 1988.

Seorang bayi laki-laki lahir. Rekah kebahagiaan terpancar dari wajah Sarbandi dan Parwati. Pernikahan yang baru dua tahun itu diberkahi kelahiran bayi yang lalu diberi nama Basri, hanya karena pada saat itu sedang ramai-ramainya orang-orang di desa berbicara tentang Kiai Basri. Kiai pendatang yang saat itu begitu mempesona penduduk desa. Kalimat dan petuahnya adalah pokok yang diobrolkan orang di mana- mana.

Basri tumbuh menjadi anak yang ceria meski sering sakit-sakitan. Tak jarang, dalam sebulan, bisa tiga kali ia harus didadah ke dukun bayi. Tak ada sugesti yang diyakini selain membawa Basri ke sana. Selain memang orang-orang di desa pada saat itu belum akrab dengan dokter. Sebagai seorang ayah, meski baru, Sarbandi memberi kasih sayang penuh. Tak sedikit pun terlihat dari gerakannya yang kaku saat menggendong Basri. Bahkan, jika Parwati sedang kecapekan, Sarbandi dengan luwes menggantikannya memandikan Basri, mendandani, dan menuntunnya ke sana-sini. Kelak, keluwesan inilah yang menurun pada anak laki-lakinya itu.

Di usia yang belum genap sebelas bulan, Basri sudah bisa berjalan. Rekahan bahagia di hati Sarbandi melebar. Tawanya pecah ketika mendengar Basri yang sudah bisa berkata-kata. Suku demi suku kata mulai tersusun di bibirnya yang mungil dengan tahi lalat serupa biji trembesi di tepinya.

Basri kecil juga menjadi bocah yang gampang mencontoh. Di usianya yang belum penuh dua tahun, ia terbata-bata menirukan suara azan sepenggal-sepenggal atau suara deru mesin gergaji kayu millik Lek Kamin. Saat itu suara mesin gergaji kayu adalah idola anak-anak. Di mana pun Lek Kamin menebang kayu, di situ anak-anak datang berkerumun.

“Akan lebih sempurna bila kita punya anak lagi, Par,” ucap Sarbandi suatu malam. “Apalagi kalau perempuan,” lanjutnya.

“Aku juga berpikir begitu, Mas. Akan lebih baik jika Basri punya tunggal.” Parwati menjawab jujur. Meski diakuinya, kerepotannya mengasuh bayi tak semudah melahirkan.

Oktober 1990.

Adik Basri lahir. Seorang bayi perempuan. Doa Sarbandi dan Parwati terkabul sudah. Harapan mereka membuncah. Sekarang, seperti telah lengkap hidup mereka. Apalagi bayi perempuan itu tumbuh sehat tanpa sakit-sakitan. Tentu semua itu tak mengurangi rasa sayang mereka kepada Basri, anak mereka yang pertama. Keduanya adalah tempat bermuaranya cinta kasih Sarbandi dan istrinya. Demi tak ingin melihat Parwati kewalahan mengasuh anak, Sarbandi menyewa seorang rewang untuk membantu kerepotan di rumah tiap kali ia harus meninggalkan istrinya ketika bekerja. Ia pulang tiga hari sekali dan selalu dibawakannya buah tangan untuk istrinya tercinta itu.

Meski tak sakit-sakitan, Nur, adik Basri, belum bisa berjalan padahal sudah setahun lebih dua bulan. Kalimat-kalimatnya pun masih tertahan di mulut.Yang lucu adalah, ia tak bisa tengkurap. Maka saat ditinggal sendirian di dipan, ibunya tak begitu khawatir akan jatuh. Kelak, hal inilah yang menjadi bahan olokan kakak dan adiknya.

Parwati rajin membawa dua anaknya ke dukun bayi. “Biar mereka tak kecapekan.” begitu suaminya berpesan. Satu atau dua beruk beras dibawanya sebagai buah tangan, tentunya selain beberapa jumlah uang. Semuanya dirasa sebanding jika ditukar dengan tawa riang anak-anaknya setelah badan mereka kembali bugar.

1994

Sarbandi lebih semangat bekerja. Di pikirannya, tidak ada hal yang lebih menyenangkan selain membahagiakan kedua anaknya, tentu juga istrinya. Selain disadarinya penuh bahwa itu adalah kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Apalagi kini Basri sudah masuk TK.

Tidak jarang, Sarbandi mengajak tiga orang terkasihnya itu jalan-jalan ke pasar sekadar untuk jajan mi ayam Barokah yang saat itu rasanya begitu ternama. Basri diajaknya naik sepeda. Sedang adiknya, berjalan bersama ibunya menyusuri jalan becek sepanjang sanggeman sawah-sawah penduduk desa. Mereka akan bertemu di titik tertentu. Kebiasaan inilah yang membuat kedua anaknya mejadi pecandu mi instan yang taat saat mereka dewasa.

Desember 1995.

Amad lahir setelah Nur lima tahun. Untuk anak yang ketiga ini, Parwati tak begitu merisaukan perihal laki-laki atau perempuan. Harapannya hanya satu, semoga anak-anaknya sehat, tak kurang suatu apa.

Amad memang sehat. Makannya lahap, gerakannya lincah dan periang. Namun, menjelang enam tahun, Amad mengidap gejala asma. Seperti ada anak panah yang menghujam perasaan Sarbandi saat itu.

Dukun bayi tak lagi mempan. Klinik dan rumah sakit ia datangi jika Amad sedang sakit. Dari yang terdekat hingga yang perjalannya menguras keringat. Saban Amad sakit, Sarbandi sering begadang semalaman, demi tak mau membiarkan anaknya kepayahan, meski sering tak tahan melihat air mata yang menitik saat anaknya menahan kesakitan. Kasih sayang terhadapnya adalah cambuk yang menggiring untuk tidak lekas menyerah. Tidak akan, sampai suatu saat ia melihat ketiga anaknya hidup dalam keberhasilan.

***

Kini, ketiga anak Sarbandi sudah dewasa, Basri bekerja di Jakarta. Sebuah pabrik perakitan kendaraan adalah tempatnya. Beruntunglah Sarbandi, karena Basri adalah anak yang gemi dan ngati-ati. Sedikit penghasilannya ia kirim kepada orang tuanya. Tak akan lunas sebagai balas jasa, karena kasih orang tua memang sepanjang masa. Dari penghasilannya itu ia juga masih bisa menabung. Uang hasil tabungan inilah yang akan dibelikannya sesuatu yang Sarbandi pun tak akan pernah menyangka.

Nur diperistri seorang pedagang buah. Keduanya pun, kini menetap di Jakarta. Meski masih satu kota, Basri dan Nur jarang bertemu. Kesibukanlah yang menjadi kambing hitam. Meski jarang berjumpa, mereka tak lupa berkirim kabar pada bapaknya di desa. Kabar itulah penawar lelah Sarbandi setelah seharian di sawah.

Amad-lah yang berada paling jauh. Di Kalimantan ia bekerja. Asma sudah hilang dari tubuhnya. Entah bagaimana. Tak ada di ingatan Sarbandi obat apa yang sekiranya mengusir asma Amad. Barangkali, kegigihannya berobatlah yang menjadi obat itu sendiri.

Desember 2017 – Januari 2018.

Dua angka merah yang tertera di kalender dirasanya sebuah hari yang pas untuk berkunjung ke rumah anaknya. Sebenarnya, idenya ini ditolak Parwati. Namun keinginannya sudah menggunung.

“Nanti mau nginep di mana, Pak?” tanya Parwati gelisah.

“Ya kamu tinggal pilih; di kontrakan Basri atau di rumah Nur. Terserah.” Sarbandi menjawab santai.

“Di kontrakan Basri sempit. Ora isa obah. Kalau di rumah Nur, nggak enak sama suaminya.”

“Kamu ini, Bu, di rumah anak sendiri kok sungkan.”

“Bukan begitu, Pak. Aku takut akan mengganggu jualan mereka. Mereka harus libur karena kedatangan kita.”

Bagi Sarbandi, meladeni keresahan Parwati sama saja mengulur waktu, sedang keinginannya untuk ke Jakarta, semakin menggebu.

Maka pagi itu, sebuah mobil baru terparkir di halaman rumah Sarbandi. Ia dan Parwati mengajak Purnomo, keponakannya untuk menyopiri. Ini pertama kalinya ia dan Parwati ke Jakarta naik mobil pribadi. Mobil yang dibeli Basri tiga bulan yang lalu. Dibawa pulang ke desa oleh kawannya di pabrik yang juga seorang tetangganya. Terlalu besar dan riskan jika ditaruh di kontrakan, katanya.

Dalam benak Sarbandi, terbayang saat mereka berkumpul nanti. Betapa bahagianya. Sepanjang perjalanan, tergambar pula adegan demi adegan waktu kecil ketiganya. Apalagi pagi sebelum berangkat tadi, Amad menelepon akan mampir ke Jakarta sebelum terbang ke Singapura, menjalankan tugas dari tempat kerjanya. Selain sambal pecel dan intip goreng, ia juga membawa beberapa baju batik khas Solo untuk menantu dan cucu kecilnya. Anak Nur kini berumur dua tahun. Mestilah sedang lucu-lucunya.

Purnomo senang betul menyopiri mobil baru Basri. Sampai-sampai tak tertangkap matanya saat seorang bocah tanpa helm melesat dengan sepeda motor tepat di depannya. Brakkk... wajah kedua kendaraan itu berciuman. Meninggalkan sedikit goresan di dekat lampu depan mobil. Bocah itu sudah kabur sebelum Purnomo sempat keluar.

Basri tergopoh dengan motornya saat datang. Purnomo sedikit gemetar karena semua itu terjadi tepat di pertigaan sebelum menuju kontrakan Basri. Semuanya berpandangan.

Jangankan mencium tangan bapak dan ibunya terlebih dulu, menanyakan kabarnya pun tidak. “Mobilnya tidak apa-apa kan, Pak?” itulah yang pertama kali keluar dari mulut Basri.

Hujan ketiga, November 2018

Latif Nur Janah, tinggal di Kwangen, Gemolong, Sragen, Jawa Tengah

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button