“Kau ini mau jadi apa, menikah dengan orang yang madesu. Masa depan suram!”
“Wahid sudah bekerja, Pak.”
“Kerja apa?! Baca puisi, main teater seperti orang gila, ke sana kemari.”
“Wahid juga mengajar teater di beberapa sekolah.”
“Berapa bayarannya? Lima ratus ribu? Untuk mengontrak rumah saja tak lunas.”
“Inayah sudah bekerja jadi guru. Inayah juga jualan kue. Kami bisa saling membantu.”
“Tak ada sejarah dalam silsilah keluarga kita seorang perempuan menyokong ekonomi keluarga. Kepala keluarga adalah suami. Bapak tak setuju kamu menikah dengan Wahid!”
***
Inayah termangu di depan oven. Sesaat lalu ia sudah memasukkan loyang-loyang cake. Selain mengajar pada sebuah SMK swasta, Inayah suka bikin kue. Namun kali ini, entah, Inayah mencipta kue dengan rasa nanar. Menggumam, mengeluh sedih. Terbayang-bayang sosok Wahid.
Inayah mengenalnya di acara peluncuran buku antologi puisi para guru. Rimba, rekan guru yang demen puisi dan salah satu puisi karya termaktub dalam buku yang digagas oleh Wahid- itu mendapat undangan. Rimba mengajak Inayah-yang sejak SD suka puisi. Maka mereka datang di acara peluncuran puisi yang diadakan di kebon pendopo kawedanan. Lalu satu persatu penyair membaca puisi. Hingga saatnya Wahid Bumi tampil. Rambut gondrong dan dengan atraktif ia membacakan puisinya berjudul Cinta Atas Nama Allah.
Semua terpesona. Termasuk Inayah. Usai membacakan puisi, Wahid tiba-tiba duduk di dekat Inayah… tanpa basa-basi ia bertanya tentang penampilannya. “Bagaimana puisiku tadi?”
“Biasa saja, “ Inayah ingin memuji, namun entah yang keluar sepatah kata yang justru membuat Wahid tertawa. Tawa itu, ah, membuat dada Inayah berdebar riuh.
Pembacaan puisi berlanjut, Inayah dan Rimba pulang saat acara usai. Mereka belum lama melintas keluar dari gerbang pendopo ketika ban motor tiba-tiba kempes.
“Aduh, Ina, gimana? Ban motor kempes…”
Wahid datang sebagai pahlawan. Menuntun motor ke tambal ban terdekat. Dek. Dada Inayah semakin berguncang saat tanpa sengaja mereka saling pandang. Motor lancar. Inayah dan Rimba berlalu. Wahid melambai. Sungguh sejak itu Inayah jatuh cinta pada Wahid. Cinta ternyata bersemi pula di hati Wahid. Cinta mereka tak bertepuk sebelah tangan.
***
Wahid tepekur sesaat usai mendengar cerita Inayah. Hanya sesaat. Karena kemudian Wahid terbahak-bahak. Inayah gemas mencubit lengan liatnya.
“Gila kau, Mas Hid. Aku sedih, karena bapakku menolakmu. Bapak tak merestui hubungan cinta kita. Bapak tak menyetujui aku menikah denganmu. Oh, Mas Wahid aku sangat sedih, tapi mengapa kau malah tertawa-tawa, seolah tiada masalah?”
Menghentikan tertawanya. Perjaka 31 tahun, berambut gandrong, tampan, mirip Once si penyanyi ‘Simponi yang Indah’ itu, memandang Inayah dalam-dalam. “Inayah, tak selamanya langit mendung. Mendung pun tak berarti hujan. Jika pun turun hujan, siapkan payung atau mantel, supaya tak kehujanan. Tapi jika tak ada, mengapa takut hujan. Hujan-hujan membuat subur seperti tanaman. Jadi, mengapa takut hujan?” tutur Wahid seperti berpuisi
“Kau aneh, Mas Hid,” gumam Inayah seraya meremas-remas tangan. Begitulah kelakuan perempuan manis 26 tahun, berdagu belah, saat gelisah.
“Bukankah karena aku aneh, kau jatuh cinta, “ senyum Wahid, sungguh membuat hati Inayah klepek-klepek.”Padahal status kita jauh beda. Kau anak lurah. Aku anak petani gula jawa,” Wahid masih menggumam damai. Padahal hati Inayah, sangatlah risau.
“Sudah, ah, jangan bercanda melulu. Mas Hid, apa yang harus kita lakukan? Aku serius ingin berumah tangga. Apa yang mesti kita perbuat?” Inayah mencoba meyakinkan hati. Seperti yang diinginkan Wahid, ia mesti kuat. Inayah akan berusaha lagi meyakinkan keluarganya, jika Wahid memang pilihan hatinya. Wahid bakal suami Inayah. Jodoh, lelaki yang akan menjadi bapak dari anak-anak yang terlahir dari rahimnya.
Harus dengan cara apalagi, Inayah membuktikan jika Wahid kelak bisa menghidupinya, memberi makan-papan-sandang untuk anak-istri. Inayah yakin, jika membangun rumah tangga, bermodal iman dan cinta, kerja keras berlambar doa, mereka bisa hidup seperti yang dimaui keluarganya. Pernikahan yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Inayah tahu, tak ada seorang Bapak di dunia yang ingin anaknya hidup sengsara. Inayah sangat berterima kasih pada Bapak dan Ibu yang sudah membesarkan, menghidupinya, menguliahkannya. Kini saatnya Inayah ingin membuktikan, bahwa ia tak ingin mengecewakan kedua orangtua. Tapi jika kenyataannya, mereka masih tak yakin bermenantu Wahid, hanya karena Wahid seorang sastrawan, duh, apa yang harus Inayah lakukan untuk membuktikan bakti seorang anak pada orangtua?
“Kita turuti kata-kata Bapakmu!” Keputusan Wahid seperti petir menyambar langit siang bolong. Inayah terlongong.
“Apa?!”
***
“Kau tetap ingin menikah dengan Wahid?” Pandang mata Bapak tajam. Inayah tak kuasa memandang. Inayah menata hati yang tak lagi utuh. Sejak Bapak tak merestui hubungan cintanya dengan Wahid, Inayah merasa ada yang berbeda perasaannya pada lelaki gagah itu. Bukan, bukan Inayah membenci Bapak. Inayah hanya tak bisa memahami pemikiran Bapak. Tentang seniman, termasuk sastrawan yang menurut anggapan Bapak: madesu, masa depan suram. Padahal Inayah yakin, tak semua mitos itu benar.
“Nduk, kau belum menjawab pertanyaan bapakmu?” lembut teguran Ibu memburaikan sekejap lamunan Inayah. Inayah menguatkan hati. Ia tak ingin goyah. Keyakinan dan masa depan berada pada keputusan dan genggaman tangannya.
“Kau tetap ingin menikah dengan lelaki pilihanmu. Si Wahid, sastrawan madesu: masa depan suram. Masa depan tak jelas!”
“Inayah ingin menikah dengan lelaki yang Inayah cintai. Inayah yakin dengan restu Bapak dan Ibu, kami akan hidup berkecukupan dan bahagia. Kang Wahid sudah bekerja, membuka kios buku dan usaha sablon kaos. Juga mengajar teater di beberapa sekolah. Mungkin nafkah yang diberikan Kang Wahid kecil, namun jika Inayah ridlo, insyaAlaah rezeki berkah. Setelah menikah insyaAllah kami bisa mandiri, dan…”
“Bagaimana kalau Bapak tetap tak setuju?”
“Inayah ingin Bapak yang menjadi wali nikah Inayah.”
Bapak bangkit, berjalan ke arah Inayah. Menepuk pundaknya. “Bagaimana kalau Bapakmu me….”
Inayah membiarkan air mata leleh di pipi. Ia berlari tergopoh memasuki kamar mungilnya.
***
Kamar pengantin beraroma melati. Ranjang pengantin yang teduh wangi. Lampu temaram. Hati berdebar-debar. Wahid menggamit jemari Inayah, lembut. Ia sudah melakukan yang terbaik. Inayah mengangguk, terharu.
“Akhirnya kita menikah, Ina. Seperti yang Mas angankan, berdua di kamar pengantin bersama orang yang dicintai.”
“Inayah bahagia, Mas Hid. Sangat bahagia.”
“Tapi mengapa menangis? Kita sudah halal.”
“Inayah penasaran saja, Mas. Mengapa akhirnya Bapak merestui perkawinan kita. Mengapa Bapak akhirnya mengizinkan Mas Hid menikahi Inayah. Apa yang sudah dilakukan….”
Sungguh, Inayah penasaran, mengapa hati Bapak yang semula sekeras batu akhirnya melunak. Bapak yang sedari awal tak sepakat jika Inayah menambatkan hati pada Wahid. Bapak yang sangat marah saat tahu, Inayah menjalin cinta dengan sastrawan. Bapak tak merestui saat Inayah mengatakan Wahid hendak melamarnya. Padahal Ibu sudah membujuk Bapak. Hasilnya nihil. Bapak tetap keukeuh pendirian. Bahkan Bapak sempat mengancam Inayah, tak mau menjadi wali, jika Inayah tetap menikah dengan Wahid.
Namun kenyataannya, pada malam itu, di ruang keluarga, Bapak meluluskan keinginan Inayah untuk membina rumah tangga dengan orang yang cinta pertama juga cinta terakhir: Wahid Bumi. Sungguh, Inayah sekarang semakin jatuh cinta pada Wahid, yang selalu memberi motivasi, agar ia tegar menjalani kehidupan. Indah pada waktunya. Oh, terimakasih ya Allah, ya Rabbi.
“Mengapa malah melamun, Inayah sayang?” Wahid menyentuh pundak lembut perempuan yang sudah sah menjadi istrinya. Inayah menggeleng haru.
“Inayah mengucap syukur pada Allah atas karunia ini. Tapi Inayah penasaran Mas Hid, mengapa Bapak tiba-tiba berubah pikiran, dan memberi restu pada kita?“
Wahid menguar senyum, menggamit Inayah dan duduk pada bibir ranjang, kemudian berkabar sekelumit rahasia. “Begini kisahnya, istriku sayang. Sejujurnya ketika mengetahui bapak mertua tak setuju pada hubungan cinta kita, Mas pun sedih. Namun Mas tak mau menunjukkannya padamu. Mas berusaha dan berdoa. Mas mencari apa penyebab bapak mertua tak menyukai calon menantunya yang ganteng ini. Mas mencari tahu, kisah masa lalu bapak mertua. Ternyata alasan bapak bukan semata karena aku penyair, pemain teater, cerpenis, atau yang berhubungan dengan kegiatan seniku selama ini. Bapak tak menyukaiku ternyata karena dendam masa lalunya.”
“Apa maksudmu, Mas Hid?”
“Dulu bapakmu pernah jatuh pada putri penyair tenar, tapi si penyair tersebut tak menyetujui hubungan bapakmu dengan putrinya. Konon bapakmu patah hati, bahkan dendam.”
“Jadi?”
“Bapakmu menyimpan dendam itu. Bapak melampiaskannya pada kita.”
“Oh, Inayah baru tahu.”
“Maka aku mencari cara bagaimana meluluhkan hati Bapak. Aku bikinkan puisi dan novel untuk bapakmu. Maksudku kisah cinta bapak mertua aku tulis dalam bentuk puisi dan novel. Mungkin karena itu bapakmu akhirnya merestui kita.”
“Apa judulnya, Mas Hid?”
“Menikahlah Dengan Sastrawan!”
Kota Ukir, 02 Oktober 2018-12 Maret 2019
Data
Diri Singkat Penulis:
Kartika Catur Pelita, prosa dan
puisi dimuat di media cetak-online. Buku
fiksi Perjaka, Balada Orang-orang Tercinta, Bintang Panjer Sore. Bergiat di komunitas Akademi Menulis
Jepara(AMJ). Novel terbarunya berjudul:
Kentut Presiden