Maya Azeezah: ‘Perempuan dalam Gerbong’ Menjadi Wanita Seutuhnya
‘Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita seutuhnya.’
JAKARTA, DIFANEWS.com — Seorang wanita penulis, Maya Azeezah, tidak puas dengan karya yang diciptakan narasi dalam bentuk puisi, ia kembangkan ke dalam naskah drama dan dipentaskan di atas panggung.
Ketidakpuasan itu ia alihwahanakan ke dalam film pendek dengan judul yang sama ‘Perempuan dalam Gerbong’. Film itu didikusikan di Pusat Dokumentasi Sastra HB (PDSHB) Jassin, berkerja sama dengan Suku Dinas Perpustakaan Jakarta Utara.
Judul puisi ‘Perempuan dalam Gerbong’ itu ada di dalam buku antologi tunggal ‘Catatan Kehilangan’, yang diterbitkan oleh Teras Budaya, Juli 2016, pada halaman 68.
Diksi puisi itu begini:
‘Ia perempuan hitam
Yang selalu diam
Dalam ruang mendendam
Pada perjalanan yang terlewati kelam
Tak mudah mencapai puncak kejayaan
Ia lampaui batas-batasan
Melupakan qodrati keperempuanan
Karena tuntutan jaman
Ia coba mendobrak peradaban
Yang salah di mata para lanang
Tahan hantaman dan guncangan
Seolah baja gerbong kereta malam
Kerasnya pengembaraan
Makbulkan segala langgam dan impian
Menggenapi keiinginan
Tanpa menanggung sesal
Tetap saja ia roboh pada kehampaan
Saat senja datang menjelang
Perempuan hitam yang tangguh rebah tak berteman
Pendar yang ia raba tak tertentang’
Begitulah puisi yang menggambarkan seorang perempuan yang berusaha mengatasi hidupnya, yang datang silih berganti, bertubi-tubi, tiada henti di antara ruang keperempuanan untuk mendapatkan kemandirian yang bermartabat, kesetaraaan, kesuksesan dan keberhasilan, namun ia tetap mempunyai ‘batasan’ yang membelenggunya dalam menjelajahi ruang-ruang di bentangan waktu yang terus bergerak cepat.
Waktu yang menggerus pesona kecantikannya yang memudar, kegigihan umurnya yang semakin rapuh, kecerdasan yang dimiliki semakin uzur, badannya yang elok kian melemah. Tanpa disadari, mau tidak mau, perempuan harus menerima kenyataan takdirnya dengan berlapang dada.
Kondisi perempuan semcam ini yang membuat Maya Azeezah tergelitik untuk meneruskan dan menggali lebih jauh tentang peranan seorang perempuan yang seutuhnya. Sebagaimana R. A. Kartini menulis surat kepada temannya di Belanda, “Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita seutuhnya.”
Esensi isi surat yang ditulis tahun 1900 oleh RA Kartini, sampai sekarang terus diperjuangkan oleh kaum pejuang Feminis, yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria di depan publik dengan menduduki jabatan strategis di lembaga apapun. Tetapi di balik emansipasi itu, sesungguhnya bagaimana seorang perempuan ‘Menjadi Manusia Sepenuhnya’ sekaligus ‘Menjadi Wanita Seutuhnya’, yang tidak bisa diabaikan perananan kodratnya menjadi seorang istri dan seorang ibu yang kelak melahirkan generasi terbaik. (EQ)