Cerita Pendek

CINTA SANG PENGARANG

Oleh: Kartika Catur Pelita

“Kau ini mau jadi apa, menikah dengan orang yang madesu. Masa depan suram!”

“Wahid sudah bekerja, Pak.”

 “Kerja apa?! Baca puisi, main teater seperti orang gila, ke sana kemari.”

 “Wahid juga mengajar teater di beberapa sekolah.”                                               

 “Berapa bayarannya?  Lima ratus ribu? Untuk mengontrak rumah saja tak lunas.”

 “Inayah sudah bekerja jadi guru. Inayah juga jualan  kue.  Kami bisa saling membantu.”

 “Tak ada sejarah dalam silsilah keluarga kita seorang perempuan  menyokong  ekonomi keluarga. Kepala keluarga adalah suami.  Bapak tak setuju kamu menikah dengan Wahid!”

                                                                   ***

 Inayah termangu di depan  oven. Sesaat   lalu ia sudah memasukkan  loyang-loyang  cake.   Selain mengajar pada sebuah  SMK  swasta, Inayah suka bikin kue.  Namun kali ini, entah,  Inayah mencipta kue dengan rasa nanar. Menggumam, mengeluh sedih. Terbayang-bayang sosok Wahid.

Inayah mengenalnya di acara peluncuran buku antologi puisi para guru. Rimba, rekan guru yang demen puisi dan salah satu puisi karya termaktub dalam buku yang digagas oleh Wahid- itu mendapat undangan. Rimba  mengajak Inayah-yang sejak SD suka puisi. Maka mereka datang di acara   peluncuran puisi yang diadakan di  kebon pendopo kawedanan. Lalu satu persatu penyair  membaca puisi. Hingga saatnya Wahid Bumi tampil. Rambut gondrong dan dengan atraktif ia membacakan puisinya  berjudul Cinta Atas Nama Allah.

Semua terpesona. Termasuk Inayah. Usai membacakan  puisi, Wahid tiba-tiba duduk  di dekat Inayah… tanpa basa-basi ia bertanya tentang penampilannya. “Bagaimana puisiku tadi?”

“Biasa saja, “ Inayah ingin memuji, namun entah yang keluar sepatah kata yang justru membuat Wahid tertawa. Tawa itu, ah,  membuat dada Inayah  berdebar riuh.

Pembacaan puisi berlanjut, Inayah  dan Rimba  pulang saat acara usai. Mereka  belum lama melintas keluar  dari gerbang  pendopo ketika ban motor tiba-tiba kempes.

“Aduh, Ina, gimana? Ban motor kempes…”

Wahid datang sebagai pahlawan. Menuntun motor ke tambal ban terdekat.  Dek. Dada Inayah semakin berguncang saat tanpa sengaja mereka saling pandang. Motor  lancar. Inayah dan Rimba berlalu. Wahid melambai. Sungguh sejak itu Inayah  jatuh cinta pada Wahid. Cinta ternyata  bersemi pula di hati Wahid. Cinta  mereka tak bertepuk sebelah tangan.

                                                                 ***

Wahid tepekur sesaat usai mendengar cerita Inayah. Hanya sesaat. Karena kemudian  Wahid terbahak-bahak. Inayah gemas mencubit lengan liatnya.

“Gila kau, Mas Hid. Aku sedih, karena bapakku menolakmu. Bapak tak merestui hubungan cinta kita. Bapak tak menyetujui aku menikah denganmu. Oh, Mas Wahid aku sangat sedih, tapi mengapa kau malah tertawa-tawa, seolah tiada masalah?”

Menghentikan tertawanya. Perjaka 31 tahun, berambut gandrong,  tampan,  mirip Once si penyanyi ‘Simponi yang Indah’ itu, memandang Inayah dalam-dalam. “Inayah, tak selamanya langit mendung. Mendung pun tak berarti hujan. Jika pun turun hujan, siapkan payung atau mantel, supaya tak kehujanan. Tapi jika tak ada, mengapa takut hujan. Hujan-hujan membuat subur seperti tanaman. Jadi, mengapa takut hujan?” tutur Wahid seperti berpuisi

“Kau aneh, Mas Hid,” gumam Inayah seraya meremas-remas tangan. Begitulah kelakuan perempuan manis 26 tahun, berdagu belah, saat gelisah.

“Bukankah karena aku aneh, kau jatuh cinta, “ senyum Wahid, sungguh membuat hati Inayah klepek-klepek.”Padahal status kita  jauh beda. Kau anak lurah. Aku anak petani gula jawa,”  Wahid masih menggumam  damai. Padahal hati Inayah, sangatlah risau.

“Sudah, ah, jangan bercanda  melulu. Mas Hid, apa yang harus kita lakukan? Aku serius ingin berumah tangga. Apa yang mesti kita perbuat?”   Inayah mencoba meyakinkan hati. Seperti yang diinginkan Wahid, ia mesti kuat. Inayah akan berusaha lagi meyakinkan keluarganya, jika Wahid memang  pilihan hatinya. Wahid  bakal  suami Inayah. Jodoh, lelaki yang akan menjadi bapak  dari anak-anak yang terlahir dari rahimnya.

Harus dengan cara apalagi, Inayah membuktikan jika Wahid kelak bisa menghidupinya, memberi makan-papan-sandang untuk  anak-istri.  Inayah yakin, jika  membangun rumah tangga, bermodal iman dan cinta, kerja keras berlambar doa,  mereka  bisa hidup seperti  yang dimaui keluarganya. Pernikahan yang sakinah, mawaddah, warahmah.

Inayah tahu, tak ada seorang Bapak  di dunia yang ingin anaknya hidup sengsara.  Inayah sangat berterima kasih  pada  Bapak  dan Ibu yang sudah membesarkan, menghidupinya, menguliahkannya. Kini saatnya Inayah ingin membuktikan, bahwa ia tak ingin mengecewakan kedua orangtua. Tapi jika kenyataannya,  mereka masih tak yakin bermenantu Wahid, hanya karena Wahid seorang sastrawan, duh,  apa yang harus Inayah lakukan untuk membuktikan  bakti seorang  anak pada orangtua?

“Kita turuti kata-kata Bapakmu!” Keputusan Wahid seperti petir menyambar langit  siang bolong. Inayah terlongong.

“Apa?!”

                                                                   ***

“Kau tetap ingin menikah dengan Wahid?” Pandang mata Bapak tajam. Inayah tak kuasa memandang. Inayah menata hati yang tak lagi utuh. Sejak Bapak tak merestui  hubungan cintanya dengan Wahid, Inayah merasa ada yang  berbeda perasaannya pada lelaki gagah itu. Bukan, bukan Inayah membenci Bapak. Inayah hanya tak bisa memahami pemikiran Bapak. Tentang seniman, termasuk sastrawan yang menurut anggapan Bapak: madesu, masa depan suram. Padahal Inayah yakin, tak semua mitos  itu benar.

“Nduk, kau belum menjawab pertanyaan bapakmu?” lembut teguran Ibu memburaikan  sekejap lamunan Inayah. Inayah menguatkan hati. Ia tak ingin goyah. Keyakinan dan masa depan berada pada keputusan dan genggaman tangannya.

 “Kau tetap ingin menikah dengan lelaki pilihanmu. Si Wahid, sastrawan madesu: masa depan suram. Masa depan  tak jelas!”

“Inayah ingin menikah dengan lelaki yang Inayah cintai. Inayah yakin  dengan restu Bapak dan Ibu, kami akan hidup berkecukupan dan bahagia. Kang Wahid sudah bekerja, membuka  kios buku dan usaha sablon kaos. Juga mengajar teater di beberapa sekolah. Mungkin nafkah yang diberikan Kang Wahid kecil, namun jika Inayah ridlo, insyaAlaah rezeki berkah. Setelah menikah insyaAllah kami bisa mandiri,  dan…”

 “Bagaimana kalau Bapak tetap tak setuju?”

“Inayah ingin Bapak yang menjadi wali nikah Inayah.”

Bapak bangkit, berjalan ke arah Inayah. Menepuk pundaknya. “Bagaimana kalau Bapakmu me….”

Inayah membiarkan air mata leleh di pipi. Ia berlari tergopoh memasuki kamar mungilnya.

                                                                      ***

Kamar pengantin beraroma melati. Ranjang pengantin yang teduh wangi. Lampu temaram. Hati berdebar-debar. Wahid menggamit jemari Inayah, lembut. Ia sudah melakukan  yang terbaik. Inayah mengangguk, terharu.

“Akhirnya kita menikah, Ina. Seperti yang Mas angankan, berdua di kamar pengantin bersama orang yang dicintai.”

“Inayah bahagia, Mas Hid. Sangat bahagia.”

“Tapi mengapa menangis? Kita sudah  halal.”

“Inayah penasaran saja, Mas. Mengapa akhirnya Bapak merestui perkawinan kita. Mengapa Bapak akhirnya mengizinkan Mas Hid menikahi Inayah. Apa yang sudah dilakukan….”

Sungguh, Inayah penasaran, mengapa hati Bapak  yang semula sekeras batu akhirnya melunak. Bapak yang sedari awal tak sepakat jika Inayah menambatkan hati pada Wahid. Bapak yang sangat marah saat tahu, Inayah menjalin cinta dengan sastrawan. Bapak tak merestui saat Inayah mengatakan Wahid hendak melamarnya. Padahal Ibu sudah membujuk Bapak. Hasilnya nihil. Bapak tetap keukeuh  pendirian. Bahkan Bapak sempat mengancam Inayah, tak mau menjadi wali, jika Inayah tetap  menikah dengan Wahid.

Namun kenyataannya,  pada malam itu, di ruang  keluarga, Bapak  meluluskan keinginan Inayah untuk membina rumah tangga dengan  orang yang cinta pertama juga cinta terakhir: Wahid Bumi. Sungguh, Inayah sekarang semakin jatuh cinta pada Wahid, yang selalu memberi  motivasi, agar ia tegar menjalani kehidupan.  Indah pada waktunya. Oh, terimakasih ya Allah, ya Rabbi.

“Mengapa malah melamun, Inayah sayang?” Wahid menyentuh pundak lembut perempuan yang  sudah sah menjadi istrinya. Inayah menggeleng haru.

 “Inayah mengucap syukur pada Allah atas karunia ini.  Tapi Inayah penasaran Mas Hid, mengapa Bapak tiba-tiba berubah pikiran, dan memberi restu pada kita?“

Wahid menguar senyum, menggamit Inayah dan  duduk pada  bibir ranjang,  kemudian berkabar sekelumit  rahasia. “Begini kisahnya, istriku sayang. Sejujurnya ketika mengetahui bapak  mertua tak  setuju  pada  hubungan cinta kita, Mas pun sedih. Namun Mas tak mau menunjukkannya padamu. Mas berusaha dan berdoa. Mas mencari apa penyebab bapak  mertua  tak menyukai calon menantunya yang ganteng ini. Mas mencari tahu, kisah masa lalu bapak  mertua. Ternyata alasan bapak  bukan semata karena aku  penyair, pemain teater, cerpenis, atau yang berhubungan dengan kegiatan seniku selama ini. Bapak  tak menyukaiku ternyata karena dendam masa lalunya.”

“Apa maksudmu, Mas Hid?”

 “Dulu bapakmu  pernah jatuh pada putri penyair tenar, tapi si penyair tersebut tak  menyetujui hubungan bapakmu dengan  putrinya. Konon bapakmu patah hati, bahkan dendam.”

 “Jadi?”

“Bapakmu menyimpan dendam itu. Bapak  melampiaskannya  pada kita.”

“Oh, Inayah baru tahu.”

 “Maka aku mencari cara bagaimana meluluhkan hati Bapak. Aku bikinkan puisi dan novel untuk bapakmu. Maksudku kisah cinta bapak mertua  aku tulis  dalam bentuk puisi dan novel. Mungkin karena itu bapakmu  akhirnya merestui kita.”

 “Apa judulnya, Mas Hid?”

 “Menikahlah Dengan Sastrawan!”

Kota Ukir, 02 Oktober 2018-12 Maret 2019

Data Diri Singkat Penulis:
Kartika Catur Pelita, prosa dan puisi dimuat di  media cetak-online. Buku fiksi Perjaka, Balada Orang-orang Tercinta, Bintang Panjer Sore.  Bergiat di komunitas Akademi Menulis Jepara(AMJ). Novel  terbarunya berjudul: Kentut Presiden

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button