ANDINI termenung di beranda rumah sembari memikirkan bagaimana cara untuk menemui ibunya yang berada di luar negeri. Tempat jauh dan tak pernah ia ketahui tempatnya. Tempat yang berada di seberang lautan tak pernah terjangkau oleh matanya. Dalam hati, ia ingin menemui ibunya dan itu akan terwujud jika ia bisa pergi ke sana. Tetapi bagaimana caranya ke sana? Pikir Andini.
Gerimis mulai turun. Suara tetesan yang saling berkejaran itu terdengar nyaring dari atap yang terbuat dari seng. Semula pelan, tetapi lambat laun mulai terdengar keras dan berisik. Serupa mesin jahit yang dulu sekali menemani ibu Andini. Mesin jahit berwarna hitam dengan tulisan warna keemasan menunjukkan merk dari mesin jahit itu dan tempat di mana dibuat.
Dulu, sebelum ibunya pergi ke luar negeri. Di dalam rumah selalu terdengar suara mesin jahit yang tak pernah berhenti. Mesin jahit yang sudah menggunakan tenaga listrik itu selalu berderu nyaring memenuhi rumah. Selain itu, tumpukan kain bermotif warna-warni juga bertumpuk meminta segera disatukan agar dapat disebut sebagai baju− bukan lagi kain.
Andini suka dengan pekerjaan ibunya. Ia menyukai aroma dari tumpukan kain yang warna-warni. Biasanya Andini akan berlama-lama di dekat ibunya. Bermain dengan kain bekas yang sudah tidak terpakai. Dan yang paling ia sukai adalah ruap yang khas dan itulah yang membuatnya betah. Pernah suatu kali ibu bertanya mengapa ia tak bermain ke luar bersama teman-temannya.
“Kenapa kamu tidak bermain bersama teman-temanmu, Andini?” tanya ibunya saat itu sembari terus memacu mesin jahitnya.
“Aku suka di sini saja, Bu,” Andini menjawab pertanyaan ibunya tanpa memandang arah siapa yang mengajaknya bicara. Ia membelakangi ibunya.
“Kalau nanti kamu nggak punya teman bagaimana,” ibu menggoda.
“Kan aku masih bisa berteman dengan ibu,” jawabnya polos. “Aku juga suka bau kain-kain ini, Bu. Harumnya seperti keluar dari motif bunga-bunga ini. Selain itu, kain-kain ini juga hangat, Bu. Seperti pelukan ibu padaku.”
Ibu Andini tersenyum. Kebahagiaan terpancar dari wajahnya. Ada suatu cahaya yang muncul dari sana. Andini adalah alasan untuk semua itu. Bukankah kebahagiaan terbesar seorang ibu adalah ketika bisa menghabiskan waktu bersama anaknya? Itu tampak juga dari bagaimana ibu Andini mendengarkan jawaban anaknya dan rona kesedihan tak akan muncul. Mustahil kesedihan akan lahir dari sebuah kasih sayang ibu pada anaknya. Tangan dan kaki ibu Andini terus saja bekerja. Tetapi pikirannya terbagi antara pekerjaan dan anak satu-satunya yang begitu ia cintai.
Akan tetapi kebahagiaan itu mulai pudar ketika distributor bahan pakaian itu memutuskan untuk tidak lagi menyetorkan kain bahan pakaian ke industri rumahan. Alasannya sekarang kurang ada yang berminat dengan pakaian-pakaian dari industri rumahan atau dari penjahit-penjahit rumahan.
“Sekarang,” kata kurir yang biasanya mengantar kain dengan sepeda motor yang di jok belakangnya dipasang tas obrok− orang-orang mengenalnya dengan beronjong. “juragan-juragan memilih mengambil pakaian jadi ke pabrik-pabrik dan dijual kembali, daripada harus menunggu dari penjahit rumahan. Katanya lebih efisien dan kualitasnya juga hampir sama, bahkan kadang lebih bagus.”
“Lalu sekarang bagaimana, Mas?” tanya ibu Andini meminta kepastian.
“Mohon maaf, Bu. Sekarang saya tidak bisa ke sini lagi. Tidak ada lagi pasokan kain. Dari juragan sudah tidak melanjutkan kerja sama lagi. Ini mungkin saya terkahir kali ke sini untuk mengambil pakaian-pakaian yang masih ada,” tutup kurir pengantar kain untuk pertemuan yang terakhir kali itu.
Semenjak pemutusan kerja yang sepihak itu, mesin jahit di rumah Andini jarang lagi berderu. Hanya sesekali dalam seminggu. Itu pun jika ada orang yang datang dan meminta tolong untuk mereparasi celana atau baju yang sobek dan juga mengecilkan ukuran pakaian yang terlalu besar. Selebihnya mesin jahit itu tak lagi bekerja dan tak ada suara dan getaran-getaran kecil seperti hari-hari sebelumnya.
Ibu Andini sudah mencoba mencari pekerjaan lain. Menawarkan jasanya untuk mencuci pakaian milik tetangga. Akan tetapi hal itu sia-sia sebab sudah banyak yang menggunakan mesin cuci. Paling hanya satu dua orang saja yang menerima tawaran jasa ibu Andini. Mereka adalah orang-orang yang sibuk dengan pekerjaan di kantor. Akan tetapi hal itu tidak bisa juga dijadikan pekerjaan yang tetap.
Hingga pada akhirnya tawaran untuk bekerja ke luar itu datang dan sampai ke telinga Andini. Saat itu dirinya baru saja pulang sekolah. Ia yang masih berseragam baru saja sampai di beranda rumah dan menjumpai dua orang perempuan yang mengenakan jilbab warna putih. Seragam. Termasuk baju dan celana mereka yang selaras. Di baju bagian lengan mereka terdapat bendera merah putih yang tak lain bendera Indonesia dan bendera yang berwarna merah dan di tengahnya terdapat gambar serupa bunga− yang kelak ia tahu bahwa itu adalah bendera negara Hongkong.
Ibunya yang mengetahui kedatangan Andini lantas menghampirinya di depan pintu dan langsung memeluknya disertai isakan tangis. Andini bingung bukan kepalang. Tak biasa apa yang dilakukan ibunya. Bukan karena pelukan itu, tetapi tangisan ibunyalah yang menjadi pertanyaannya. Apa yang sedang terjadi pada ibu. Pikirnya saat itu.
Andini diajak duduk bersama dua orang tamu yang tak diketahui siapa namanya. Ibunya tak henti-henti memeluk dan mulai mengusap air matanya. Mencoba menenangkan diri lantas berbicara pada salah seorang tamu.
“Ini anakku. Aku tidak tega jika harus meninggalkan dia bersama neneknya,” kata ibu Andini dengan suara yang berat. Semacam sulit untuk mengucapkan tetapi dipaksakan.
Andini yang mendengar pembicaraan itu semakin bingung. Ia tak mengerti apa yang diucapkan ibunya. Ia masih di pelukan ibunya. Tetapi tidak seerat semula. Ibunya melihat kedua tamu dan kedua tamu itu tampak sedang berpikir.
“Mau bagaimana lagi, Bu. Itu juga kan demi masa depan adik cantik ini,” rayu salah seorang tamu yang berada di sisi kiri dekat pintu. Dari ucapannya yang lembut− atau memang sengaja dibuat selembut mungkin− yang tak lain tujuannya untuk meyakinkan orang yang diajaknya bicara.
“Benar juga, Mbak. Coba nanti saya pikir-pikir lagi,” kata ibu Andini menimbang.
Dari percakapan itulah akhirnya ibu Andini benar-benar berangkat bekerja ke luar negeri. Sebelum berangkat, ia berpesan kalau Andini harus rajin sekolah dan rajin belajar agar pintar. Selain itu, juga mengingatkan agar Andini rajin membantu neneknya− mengingat ayahnya sudah lama tiada dan kini ibunyalah yang harus bekerja. Perpisahan itu diakhiri dengan pelukan yang cukup lama.
Kini setelah keberangkatan ibunya yang sudah memasuki tahun ke tiga, Andini belum juga bertemu ibunya. Kepulangan yang ia tunggu-tunggu belum juga terwujud. Ia ingin ibunya pulang. Tapi− pikir Andini− jika ibunya tidak pulang, ia bisa menyusul ke sana. Agar ibunya tidak terganggu dan tetap bisa bekerja. Sebuah perjumpaan yang begitu diimpikan.
Tetapi tak ada kabar dari ibunya yang membuat Andini berbahagia. Saban hari kegelisahan dalam diri Andini semakin menjadi-jadi. Dalam kegelisahan itu, ia ingin sekali pergi ke tempat di mana ibunya sekarang berada. Suatu keinginan yang belum terpenuhi dan kelak membuat Andini bermimpi dan memohon.
“Malaikat yang baik. Bisakah kau meminjamkan sayap untukku barang sebentar?” pinta Andini saban malam sembari menatap langit.
Data Ringkas Penulis:
EKO SETYAWAN, Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP UNS. Bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar. Kumpulan puisinya berjudul Merindukan Kepulangan (2017). Karya-karyanya tersiar di media lokal dan nasional. Surel: esetyawan450@gmail.com