Sardan akhirnya menyerah ketika satu per satu anaknya berbahagia dengan jalan hidup pilihan mereka masing-masing. Tak satu pun dari empat anaknya yang memilih profesi seperti dirinya sebagai seorang wartawan sebuah surat kabar terkemuka di negeri ini. Sardan harus rela menjadi satu-satunya warga Cibaresah yang berprofesi sebagai wartawan.
Sukma, anak sulungnya, memilih jadi dokter dan menikah dengan seorang dokter pula. Sukma dan suaminya, Ardian, hidup bahagia dan ikut membahagiakan Sardan dengan dua cucu yang cantik-cantik seperti boneka.
Sardan tak menyesali takdir Sukma. Ia bahkan merasa bangga punya anak dan menantu yang sama-sama menjadi dokter. Cuma sesekali ia dibuat bosan oleh pertanyaan anaknya bila sedang berkunjung ke rumah induk.
“Papah punya keluhan apa? Suka batuk-batuk? Papha seharusnya sudah berhenti merokok. Merokok tidak baik untuk kesehatan. Papah seharusnya rajin berolahraga untuk menjaga kebugaran tubuh. Papah harus banyak makan buah. Papah harus mengurangi makan nasi putih karena terlalu banyak mengandung glukosa. Papah harus…Papah mestinya… Papah tak boleh lagi…”
Sardan menyambutnya dengan senyum meski ada sedikit rasa kesal di hatinya. Tapi, di balik itu ia menyadari bahwa semua itu dilakukan Sukma agar ayahnya panjang umur, tetap sehat, tetap bersemangat.
“Kau tak usah terlalu mengkhawatirkan Papahmu, Suk,” kata istrinya, Risma, jika Sukma terus mengoceh seperti murai batu milik tetangga di sebelah rumah.
“Papahmu Alhamdulillah masih sehat meskipun usianya mendekati angka 7. Masih kuat. Masih prima.”
Sukma mesem-mesem. “Pantas Mama kelihatan selalu ceria,” ujarnya.
“Hus!”
Anaknya yang kedua, Prabawa memilih menjadi petani tambak ikan di desanya sendiri setelah lulus sebagai insinyur pertanian. Menikah dengan seorang gadis kota dan kebetulan anak seorang pengusaha, Prabawa mendapatkan dukungan modal untuk menyulap lahan kosong seluas satu hectare milik ayahnya menjadi empang-empang untuk tambak ikan.
Meskipun tak menjadi wartawan seperti dirinya, Sardan juga sangat bangga dengan Prabawa. Selain memiliki tambak sendiri, Prabawa juga ikut membantu petambak-petambak lain di desanya. Dari istrinya yang jelita, July, Sardan dan istrinya, Risma, mendapatkan seorang cucu laki-laki yang sangat rupawan. Kulitnya bersih seperti ibunya. Hidungnya mancung seperti ayahnya.
Yang menyenangkan Sardan, ia bisa menyantap ikan segar kapan pun ia mau. Ia cuma tinggal menelepon, seorang pembantu Prabawa akan membawakannya satu kantong plastik ikan segar.
Anaknya yang ketiga, seorang gadis yang sangat ceria, Reina, masih kuliah semester akhir di Malang mengambil jurusan biologi di fakultas matematika dan IPA. Setelah lulus nanti, Reina mengaku akan berwirausaha membantu kakaknya dengan menciptakan alat dan teknologi yang dibutuhkan para petambak dan petani-petani lain.
Sardan cuma manggut-manggut ketika Reina membeberkan cita-citanya dan Prabawa pun sangat senang mendengar keinginan sang adik.
Si bungsu, Liani, baru masuk di ITB Bandung di Fakultas Seni Rupa dan Disain. Tak seperti ketiga kakaknya, Liani menyukai desain interior. Sardan sendiri heran dari mana bakat itu menurun. Risma istrinya juga tak menyukai hal-hal yang berbau seni. Tapi, ia tak ingin menghalangi keinginan anaknya, meskipun Liani juga menegaskan takkan jadi wartawati setelah lulus nanti.
Sardan pernah bertanya kepada Liani mengapa ia tak ingin jadi wartawan.
“Nggak mau aja, Pah,” jawab Liani seenaknya.
“Coba beri Papahmu ini satu alasan yang kira-kira masuk akal,” Sardan penasaran.
“Semua orang sekarang bisa jadi wartawan, Pah. Lama-lama koran atau media cetak akan gulung tikar. Tidak dibutuhkan lagi wartawan tulis. Harga kertas naik terus. Waktu untuk membaca Koran terbatas. Orang lebih suka menonton televisi, atau bermain gadget. Satu HP menyediakan segala kebutuhan. Praktis, ringkas, efektif, efisien.”
“Mungkin. Tapi kamu kan bisa jadi wartawan TV atau sejenisnya. Profesi wartawan nggak akan mati kok,” Sardan coba memberikan pemahaman. “Kamu bisa juga jadi pembaca berita. Keren lho bisa tampil di layar kaca.”
“Nggak ah. Biasa aja. Menurut Lia biasa aja. Lia sukanya desain ruangan, pokoknya yang berbau seni gitu deh.”
Sekali waktu, Prabawa bilang begini kepada Liani. “Itu bagus, Lia. Nanti kakak minta dibuatkan kantor dengan desain kamu sendiri. Pasti keren.”
“Siap, kakanda,” kata Liani. “Asal fee-nya cocok, pasti adinda kerjakan.”
***
Sardan tengah duduk membaca Koran tempatnya bekerja dulu. Meskipun telah pensiun, ia tetap ingin mengikuti perkembangan berita melalui laporan-laporan para wartawan juniornya dulu.
“Pah,” terdengar Risma memanggilnya.
Sebelum ia menyahut, istrinya sudah datang kepadanya menyodorkan telepon. “Dari Malang, Pah. Reina,” kata istrinya.
Tanpa bertanya apa-apa lagi, Sardan mengambil telepon genggam yang disodorkan istrinya.
“Pah,” terdengar suara Reina.
“Ya, anakku. Ada apa?”
“Pah, Minggu depan aku diwisuda. Papah sama Mamah dateng ya ke Malang.”
“Mama nggak bisa,” istrinya memotong. “Kan Minggu depan Sukma sama Ardian mau mengkhitankan si sulung. Jadi, kita bagi dua saja karena waktunya berbarengan. Papah yang ke Malang, Mama tetap di sini.”
Sardan menyampaikan kabar itu kepada Reina.
“Aduh, apa khitanannya nggak bisa ditunda?”
“Nggak bisa anakku. Kan ada undangan, surat undangan sudah disebarkan. Mosok ditunda?”
“Ya sudah. Papah sendiri juga nggak apa-apa. Yang penting Papah pastikan datang ya.”
“Iya dong. Kalau sehat, Papah pasti datang.”
Meskipun Reina bukan anaknya yang pertama yang bisa lulus summa cum laude dan kini begitu anggun dengan pakaian toganya, Sardan tetap saja merasa bangga. Ia bangga bisa memberikan pendidikan yang memadai bagi anak-anaknya. Kini tinggal Liani yang masih butuh dukungannya.
Sardan masih memeluk putrinya ketika mendengar namanya dipanggil seseorang. Ia menoleh.
“Mas Sardan?”
Seorang perempuan berkebaya dan nampak begitu anggun meski usianya tak nampak muda lagi, berdiri tak jauh darinya. Senyumnya mengembang. Sardan masih coba mengingat-ingat siapa wanita itu ketika ia mengulurkan tangannya. Bukan kepada dirinya, tetapi kepada Reina.
“Saya Anet, dulu sekretaris di olahraga balap sepeda di Malang ini. Saya pernah diwawancarai Papahmu waktu masih aktif sebagai wartawan. Sekarang sudah pensiun, Mas?” mata wanita yang mengaku bernama Anet itu beralih kepada Sardan.
“O,” mulut Reina membola. “Saya Reina. Anak ketiga Papah,” Reina memperkenalkan dirinya.
“Cantik dan anggun ya. Ambil jurusan apa di sini?”
“Matematika dan IPA, Tante. Di Biologi.”
“Wah, hebat ya.”
“Reina!” terdengar suara panggilan. Reina melambaikan tangan dan segera pamit kepada Papahnya dan Anet. “Aku ke sana dulu ya, Pah. Foto-foto sama temen-temen.”
Sepeninggal Reina, Sardan merasa sedikit kikuk. Ia masih coba mengingat-ingat perempuan bernama Anet.
“Mas,” ia dikejutkan suara Anet.
“Di mana ya kita pernah ketemu?”
“Dasar udah tua. Aku Anet, Mas. Mosok lupa?”
Perempuan itu kemudian bercerita soal pertemuan mereka sekian puluh tahun lalu di sebuah rumah penginapan di bilangan Tugu, Malang. Anet adalah putri dari pemilik penginapan sederhana itu. Dari beberapa kali pertemuan, Anet tertarik dengan mulut manis Sardan.
“Astaga, aku baru ingat,” Sardan menepuk dahinya.
“Dasar udah tua sih. Udah keriput,” Anet senyum-senyum.
“Tapi dulu kau suka sama aku ‘kan?”
“Dulu.”
“Sekarang?”
“Memang Mas masih tangguh?”
“Ada apa kau di sini? Mengantar anakmu?” Sardan mengalihkan pembicaraan.
“Iya. Anakku, Riko juga lulus dan diwisuda hari ini. Barengan dengan anak Mas..”
“Kau sendirian ke sini? Mana suamimu?”
“Suamiku sudah meninggal. Kebetulan kami tak punya anak.”
“Lha Riko itu?”
“Mas tak marah kalau kusebutkan siapa Papahnya?”
“Mengapa aku harus marah?”
“Papahnya ya Mas Sardan…”
“What? Ngaco kamu.”
“Iya, Mas. Riko anakmu. Karena aku tak pernah berhubungan dengan siapa pun setelah malam j****** itu.”
Sardan menarik napas. Ia seperti kehabisan kata-kata.
“Kenapa kau tak pernah cerita?”
“Cerita ke mana? Menghubungimu gitu? Itu akan merusak rumah tanggamu. Kuanggap itu risiko yang harus kutanggung sendiri. Lagi pula aku tak pernah kekurangan untuk mencukupi segala kebutuhan Riko.”
“Riko sendiri tahu siapa ayahnya?”
“Ia cuma tahu ayahnya ya almarhum suamiku.”
“Sekarang mana orangnya?”
Anet mengambil telepon genggamnya dan menelepon seseorang. Beberapa saat kemudian seorang laki-laki seumuran Reina datang menghampiri.
“Riko, ke sini sebentar,” kata Anet. “Perkenalkan, ini Pak Sardan. Temen Mamah. Dia ini wartawan. Sekarang sudah pensiun. Dia Papahnya Reina yang juga diwisuda hari ini.”
Riko mengulurkan tangannya. Sardan mmenyambutnya dengan sedikit gemetar. Namun ia berhasil mengendalikan perasaannya.
“Riko ini sudah bekerja. Magang,” ujar Anet setelah Sardan melepaskan genggaman tangannya. “Kebetulan ia berminat jadi wartawan. Ia magang di sebuah koran lokal di Malang.”
“Wartawan?” Sardan sedikit ternganga.
“Iya. Wartawan.”
Belum sempat Sardan melanjutkan ucapannya, Reina muncul.
“Waah…makin ramai di sini,” katanya dengan senyum lebar. “Pah,” katanya kepada ayahnya. “Riko ini kayak Papah juga. Senang menulis berita. Sekarang bekerja magang di koran di Malang ini.”
“Kalian sudah kenal?” tanya Sardan.
“Ya kenallah, Om. Kan kami satu kampus, Riko yang menjawab. “Rei orangnya juga senang bergaul. Cepet akrab dengan siapa saja.”
Sardan pulang ke Cibaresah bersama Reina keesokan harinya. Naik kereta api kesukaan Sardan.
“Pah,” bisik Reina dalam perjalanan pulang. “Riko itu lumayan ganteng ya. Agak macho juga kayak Papah. Kuperhatikan, mirip-mirip Papah juga wajahnya. Baik, penuh perhatian….”
Sardan pura-pura tidur.***
Tanah Kusir, Januari 2019