Penonton Terpukau oleh 3 Tarian Kuno di Pesta Kesenian Bali
Tak hanya Tari Narnir, dua tarian hasil rekonstruksi lainnya, yakni Tari Goak Ngajang Sebun dan Tari Legong Taro, yang merupakan tarian asli ciptaan mendiang Ketut Cemil, maestro asal Desa Taro, juga ditampilkan.
DENPASAR, DIFANEWS.com — Tiga tarian kuno yang telah berhasil direkonstruksi dari Desa Taro, Tegalalang, Kabupaten Gianyar, Bali, memukau penonton menjelang penutupan Pesta Kesenian Bali ke-41, di Taman Budaya, Denpasar.
“Mereka (para penari) ingin belajar, makanya tiang (saya) tidak terlalu sulit mengembangkannya, tingkat kesulitannya itu yang ingin mereka tahu,” kata Ni Kadek Ewik Jayanti, pembina Tari Narnir dari Desa Taro, di sela-sela pementasan tarian tersebut, di Taman Budaya, Denpasar, Jumat (12/7).
Tak hanya Tari Narnir, dua tarian hasil rekonstruksi lainnya, yakni Tari Goak Ngajang Sebun dan Tari Legong Taro, yang merupakan tarian asli ciptaan mendiang Ketut Cemil, maestro asal Desa Taro, juga ditampilkan.
“Ini adalah tarian kuno yang diangkat kembali, tari ini asli Taro Kaja, maestro juga asli Taro Kaja, saya sebagai pembinanya langsung kasih tarian ini sejak mereka berusia delapan tahun sampai sebesar ini masih aktif,” tambah Ewik, dikutip dari Antara.
Sebagai pembina Tari Narnir, Goak Ngajang Sebun, dan Legong Taro, Ewik terlebih dahulu melakoni proses rekontruksi ketiga tarian khas Desa Taro itu.
“Tahun 2013 itu mulai merekonstruksi bersama Ketut Cemil, mengingat, mencatat, hingga mencari penari kami lakoni bersama dan juga penabuh lingsirnya (tua),” ucap Ewik.
Ia menambahkan, sekaa (kelompok seni) Nirmala Sarwaada, Banjar Taro Kaja, Desa Taro, Tegalalang, Gianyar, berdiri pada 2010. Tiga tahun kemudian, tepatnya 2013, turut serta tampil dalam PKB, yang kala itu membawakan tari hasil rekonstruksi yang prosesnya memakan waktu sekitar tiga bulan lebih.
Hingga kini, sekaa itu kembali dipercaya untuk menampilkan hasil rekonstruksi enam tahun lalu tersebut dalam ajang PKB 2019. Ketiga tarian itu memiliki kesan magis di dalamnya, terutama Tari Legong Taro yang dapat membuat penarinya lemas dan tak sadarkan diri seusai menarikannya.
“Unsur mistis ada, setiap mau pentas nunas (memohon) taksu biar rahayu, setiap tarian ini banyak kaitannya tentang Desa Taro,” ujar Ewik.
Seperti kata Ewik, seusai Legong Taro dipentaskan, seketika itu juga para penari terkulai lemas dan tak sadarkan diri. Para pemangku (tokoh agama) yang dibalut busana serbaputih tampak gesit memercikkan tirta (air) ke penari hingga akhirnya tersadar kembali.
Gerakan Tari Legong Taro sendiri terbilang ekstrem. Dalam posisi berdiri, penari langsung ngelente (kayang) dan itulah yang membuat remaja di sekitar Desa Taro ingin mempelajari tarian tersebut.
Sebelum penampilan Legong Taro yang mistis, terlebih dahulu disajikan sebuah tabuh pembuka bertajuk Tabuh Taruktuk yang terinspirasi dari kemampuan burung pelatuk dalam mematuk kayu hingga membentuk sarangnya.
Kemudian, Tari Pendet dihadirkan sebagai ucapan selamat datang kepada para penonton dan barulah tari rekonstruksi pertama yakni Tari Goak Ngajang Sebun, dimana mendiang Ketut Cemil terinspirasi dari kehidupan sepasang burung gagak yang tengah membuat sarangnya sendiri.
Kemudian dilanjutkan dengan magisnya Tari Legong Taro dan diakhiri dengan Tari Narnir yang terinspirasi dari gerak narnir (kupu-kupu) yang lincah berterbangan dengan indah.
Kini, Ewik dan sang suami, I Made Dodi Antara, sangat serasi dalam melestarikan keberdaan tiga tarian unik ini. Ewik sebagai pembina tari dan sang suami sebagai pembina tabuh senantiasa bersemangat dalam meneruskan tarian dan tabuh ini kepada generasi muda.
“Di zaman modern ini muncul yang kuno lagi, mereka tertarik mendalami igelan (tarian) kuno, angselnya, gamelannya, dan ini kebetulan gamelannya turun temurun dari desa tiang (saya), satu set ini namanya keramen,” ucap Ewik.
Tarian ini pun sudah diakui keberadaannya oleh Dinas Kebudayaan sehingga Ewik dan Dodi kian getol membuat cahaya regenerasi tari rekonstruksi di Desa Taro kian terang benderang.